Lihat ke Halaman Asli

[Sayap Patah Yazriel 2/5] - Murka di Istana Heva

Diperbarui: 2 April 2016   10:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guriel bergegas menghampiri bangsal tempat kaum malaikat wanita yang sudah dipasangkan oleh Heva berada, dimana ibunya tinggal disitu. Hatinya panas, emosinya membumbung tinggi memerahkan mukanya. Dia terbang dengan begitu tergesa, tak digubrisnya lagi sapaan-sapaan dari malaikat-malaikat lain yang berpapasan dengannya. Yang ada di benaknya hanyalah memastikan bahwa kecurigaannya akan tindak-tanduk ibunya itu benar adanya.

Di gerbang tempat kediaman ibunya, dia dihentikan oleh penjaga. "Jelaskan siapa dan maksud kedatanganmu, anak muda", pinta seorang penjaga dengan tegas. "Aku Guriel, anak (cih, dia meludah dalam hatinya ketika membicarakan nama ayahnya) Yazriel dan Morrael, kedatanganku adalah untuk bertemu ibuku, Morrael". Penjaga itu lalu memperhatikannya sejenak, lalu berkata, "kau tentu sudah tahu, bukan, hukumannya adalah diasingkan untuk mereka yang berani melanggar peraturan di seluruh penjuru kediaman istana surgawi Heva ini? Tenangkan dirimu terlebih dahulu, anak muda. Silakan masuk", demi menyadari nafas tak teratur dan merahnya muka Guriel. Guriel menahan dirinya sedikit, dan kemudian mengangguk sambil mengucapkan terimakasih.

Teguran malaikat penjaga gerbang itu menyadarkan Guriel, bahwa tak ada yang luput di mata Heva, baik itu kejadian di atas surgawi disini, maupun kejadian di dunia, disana. Berpikir lebih jauh mengenai hal itu, dia kembali menggegaskan diri. Setelah bertanya sana-sini dan mengikuti petunjuk arahan dari malaikat-malaikat yang ditanyai olehnya, ibunya dia temukan tak lama kemudian, sedang menenun kain untuk dibuatkan pakaian. Pekerjaan yang akan lebih rapi bila dikerjakan oleh kaum malaikat wanita seperti dirinya. Kesabaran adalah kuncinya, dan jelas Guriel tidak sedang memegangnya.

"Ibu", panggil Guriel. Morrael menghentikan kegiatannya menenun kain, dia lalu menoleh ke arah anaknya. Tak lama beranjak bangun dan menghampiri anak semata wayangnya itu. Mungkin telah menduga apa yang akan dikatakan anaknya itu kemudian, sehingga ia sengaja mengulur waktu, sampai ia sudah berada tepat di hadapan Guriel, baru kemudian berucap, "ada apa, anakku, Guriel?". Tanyanya itu diusahakannya diucapkan dengan selembut namun setegas mungkin.

Guriel langsung memuntahkan kecurigaannya. "Apakah Ibu sengaja turun ke bumi untuk menemui manusia sia..", ucapannya tak terselesaikan. Plak! tangan Morrael terlebih dulu mendarat di pipi Guriel. Morrael merasa cukup sudah, tak ada lagi cacian terhadap manusia yang hendak disinggung oleh Guriel, yang boleh keluar dari mulutnya yang kini dipenuhi emosi itu. Morrael lalu berucap, "kau seorang malaikat, Guriel, apa pantas amarahmu ini?". Guriel tersentak mendapati dirinya ditampar oleh ibu yang begitu dicintainya itu. Api cemburu telah membakar kemampuannya bernalar sehingga ia lepas kendali dan berkata kasar kepada ibunya.

Dia lalu berusaha menenangkan diri dan mengendalikan amarahnya. Yang dirasakannya amat sulit. Ayahnya, Yazriel, seorang malaikat pelanggar peraturan Heva, sehingga ia diasingkan. Malaikat yang diasingkan adalah sesuatu yang hina, dan aib bagi keluarganya. Dan Guriel harus menanggung aib tersebut sepanjang sisa hidupnya, ratusan tahun lagi. Dan kini, dia dengar kabar burung bahwa ibunya turun ke bumi khusus untuk menemui manusia, penghuni bumi. Bukannya hal itu dilarang, tapi perkara mengapa ibunya tak bisa meminta pengganti ayahnya kepada Heva, sesama malaikat saja? Kenapa harus turun ke bumi dan merendahkan diri. Guriel merasa seakan ibunya ingin menambah aibnya lagi.

Morrael menghela nafas. Dia sendiri pun merasakan beban yang sama, untuk alasan yang berbeda. Dia ingin menceritakan kepada anaknya itu, namun dia sudah diminta berjanji oleh Yazriel. Janji malaikat hanya satu kali terucap dan berlaku di seluruh sisa hidupnya. Ditambah itu adalah hal terakhir yang pernah diminta Yazriel sewaktu ia masih menjadi malaikat dulu. Yazriel yang karena pengasingan telah lupa dengan apapun yang terjadi selama masa ke-malaikat-annya. Sehingga Morrael memegang teguh janjinya kepada Yazriel.

Dia lalu menatapi mata anaknya, lalu mengusap kedua pipinya dengan lembut, dan menempelkan dahinya ke dahi anaknya. "Kelak, kuharap kau akan tahu, Nak".

---bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline