"Saya yakinkan dan jamin tidak ada pungutan liar di daerah saya," tegas seorang camat --itu dulu-- ASEM.
Lembaran putih di dalam map biru itu sudah selesai diurus di tingkat kelurahan, goresan pulpen seharga Rp 500 ribu itu harga damai saya dengan oknum lurah (baca tulisan saya sebelumnya), permintaan awal Rp 2 juta langsung turun setelah tahu profesi saya sebagai "tukang" cari berita di sebuah media lokal, kesal? Tentu! Tapi mau diapakan daripada urusan tak kelar-kelar.
SMS12 Agustus 2016 itu membuat nampak garis di dahi, ekspektasi camat "garis lurus" ternyata titleoknum juga tersemat kepadanya. Oknum camat ini ternyata bermuka dua, dulu berkata tegas, ujung-ujungnya belangnya sama, minta pulus.
Perawakannya tidak tinggi, logat Banjarmasin begitu kental, di ruangan lantai dua kantor itu saya bertemu camat, yang dahulu sempat saya minta konfirmasi kalau urusan pembuatan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) adalah gratis, "Kalau ada oknum yang "main" kita akan beri sanksi," ucapnya dulu.
"Samakan aja dengan BIAYA di kelurahan," Byaarrrrr! kilat gledek lewat!!!!!
Darah merambat naik ke kepala saya, "Rp 500 ribu" jawaban ketus terlontar.
"Katanya Rp 2 juta, kok cuma Rp 500," ucap oknum camat cekatan.
"Iya pak, awal dua juta, tapi saya kemaren ngobrol sama kepala inspektorat daerah, itu pungli pak, jadi lurahnya lembek, tapi tetap minta, jadi saya kasih uang semua yang ada di dompet," emosi tingkat kecamatan.
Habis --- Saya Emosi------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H