Lihat ke Halaman Asli

Rumah Kaca (Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles)

Diperbarui: 24 April 2016   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dokpri"][/caption]

"Nuraniku tergoncang. Apa yang harus kulakukan terhadap dia? Dia bukan penjahat, bukan pemberontak...Dia hanya terlalu mencintai bangsa tanah airnya Hindia..." (hlm. 7).

Secangkir kopi pagi ini menemaniku dalam menulis review  sebuah roman berjudul “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer

Rumah Kaca merupakan roman ke-4 nya Pramodya Ananta Toer yang menggambarkan sebuah kehidupan di Hindia Belanda  pada masa Kolonial melengkapi episode dari roman sebelumnya yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah.

Roman ini mengisahkan tentang seoarang mantan komisaris polisi bernama Jacques Pangemanann yang bekerja diAlgemene Secretarie , bertugas mengawasi situasi social politik dan mengawsi tokoh-tokoh dan organisasi pribumi untuk selanjutnya menganalisa dan  menyampaikan kesimpulan untuk diserahkan kepada gurbenur jendral sebagai bahan  pertimbangan dalam mengambil  sebuah kebijakkan di hindia.

Pada awalnyaPangemanann adalah pribadi yang berintegritas, yang berjalan di jalan yang dikehendaki Tuhan. Ia memiliki segalanya: jabatan, nama baik, istri dan anak-anak yang mencintainya. Namun kesempurnaan itu perlahan mulai memudar ketika ia mulai bekerja di Algemene Secretarie dan terlibat dalam pemberangusan organisasi dan tokoh nasionalis.

 Ada kegelisahan , ada pertentangan batin dan nuraninya ketika ia begitu mengagumi tokoh-tokoh pribumi, seperti Minke,  Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker, Markodikromo, Siti Soendari,dll yang berjuang demi bangsanya, namun ia juga yang membuat mereka terbungkam   karena aktivitas politiknya, terbuang dari orang-orang yang mencintainya.

Sebagai pejabat pemerintah ia hanyalah sebagai budak Kolonial yang tak mampu melawan nuraninya, ia harus taat atas kewajiban yang diembankannya.  Rumah Kaca menyimbulkan kekuasaan untuk mengawasi, memata-matai dan selanjutnya mencari cara untuk membungkam aktivis yang vocal terhadap kebijakan pemerintah Kolonial.

Berbeda dengan ketiga roman sebelumnya, yang mengambil sudut pandang  dari tokoh Minke, Rumah Kaca bercerita dari sisi Jecques Pangemanann. Bercerita akan kegelisahan, nurani yang terenggut, kehilangan keluarga yang dicintai, disatu sisi ia juga bercerita tentang keberhasilan melemahkan organisasi nasionalis dengan tokoh-tokoh di dalamnya.

“Tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertam-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudra masih membawa padanya sisa-sisa kkeuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memrintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. (Minke hal 563)

Pada akhir-akhir bab sekilas Bumi Manusia  hadir ketika ia menjemput dan menyambut kedatangan kembali tokoh yang terbuang yaitu Minke. Gejolak hatinya begitu tak menentu ketika bertemu dengan orang yang ia kagumi sekaligus orang yang ia buang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline