"Perjuanganku lebih mudah karena yang ku hadapi adalah bangsa asing, Perjuanganmu lebih sulit karena yang kamu hadapi adalah bangsamu sendiri", demikianlah untaian kata-kata bijak Soekarno, yang sebenarnya lebih mirip dengan ramalan.
Kita sudah sering mendengar kekejaman para penjajah Belanda dan Jepang yang banyak mengeksploitasi kekayaan alam dan keringat bangsa Indonesia. Mulai dari jaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) hingga Belanda dating kembali melalui serangkaian agresi.
Apa yang sebenarnya membuat bangsa dan negara ini begitu menarik hati bangsa lain? Mengapa slogan pemerintah saat ini yaitu "Kerja, kerja, kerja!!" menjadi sebuah perdebatan yang berkepanjangan? Mari kita telisik sejarahnya.
Penjajahan pada masa pemerintah kolonial Belanda banyak diwarnai dengan kisah-kisah mengerikan bentuk kekerasan pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal itu dapat dilihat dari beberapa gambaran kondisi saat itu yang tertuang dalam buku Sejarah Sosial pedesaan Karisidenan Semarang 1830-1900.
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda antara lain dituangkan dalam bentuk Heerediensten atau kerja wajib untuk membuat lahan perkebunan kopi dan rel kereta api.
Dikisahkan bahwa ketika membuka lahan perkebunan kopi di wilayah Karisidenan Semarang, diberlakukan sebuah aturan yang mewajibkan para pamong wilayah untuk mengirimkan sejumlah pria untuk bekerja di perkebunan.
Sebenarnya pekerjaan ini digaji, meskipun kurang layak namun sebenarnya cukup untuk keluarga, hanya saja pemerintah kolonial Hindia Belanda kurang memperhatikan sektor kesehatan dan logistik untuk para pekerja. Tetapi apabila ditinjau lebih lanjut yang bermasalah sebenarnya pemangku kebijakan ataukah pelaksana teknis di lapangan?
Sistem pemerintahan yang dikerjakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebenarnya menggunakan prinsip indirect rule atau pemerintahan secara tidak langsung, artinya pemerintah kolonial melaksanakan kebijakan melalui kepanjangan tangan dengan menggunakan struktur pemerintahan lokal seperti Bupati, Wedana, dan Lurah. Pada struktur bawah inilah sering terjadi penyelewengan seperti nepotisme (misbruiken), pemerasan (knevelarijen), dan korupsi (knoeierijen).
Boleh jadi para pemangku jabatan Pribumi pada masa itu bersikap apatis, lamban, dan tidak patuh akan mendapat apresiasi yang tinggi dari penduduk dan mendapat teguran dari pemerintah Belanda, namun ada juga yang sebaliknya yaitu menghamba pada Belanda dan menimbulkan bencana bagi masyarakatnya sendiri.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa ada pemotongan upah yang dilakukan secara tersembunyi oleh para pemangku jabatan Pribumi, adanya pengusulan pegawai karena relasi, dan adanya persengkokolan jahat dalam menentukan upah pekerja oleh para pejabat daerah dan Belanda.
Melalui ilustrasi di atas dapat kita lihat bahwa sebenarnya pada masa kini tidak ubahnya masa lalu, maka kesimpulannya, masyarakat saat ini masih melestarikan sistem lama yang banyak merugikan kelas sosial bawah.