Lihat ke Halaman Asli

Adolpus otoper

Hanyalah tukang cangkul tanah

Budaya Pelacuran sebagai virus Dehumanitas

Diperbarui: 9 Maret 2024   19:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penyelesaian Praktis emansipasi di dunia bahkan di Indonesia seperti sia-sia. Hal ini berhadapan dengan semakin maraknya perempuan pelacur di kafe, hotel, Bar, Tempat pijit, homstay, kos-kosan, warung makan, penginapan dan tempat-tempat tersembunyi lainnya.

Masalahnya adalah tidak ada peluang kerja dan tidak ada orang yang punya uang untuk memberikan pekerjaan. ada juga karena masalah tidak mau menangani pekerjaan berat dan susah. Tuntutan ekonomi dan pasar yang semakin meningkat dan sulit dijangkau. 

Orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang yang stress karena miskomunikasi hidup yang diakhiri dengan putus hubungan dari kenyaman hidupnya. Rasa trauma campur sakit hati mendorong mereka mencari obat penenang dalam dunia pelacuran. Pelaku 90% perempuan yang terlibat di dalamnya. 

Masalah ini juga tidak mampu ditangani oleh pihak keamanan. Entah apa alasanya sampai hari ini tidak dapat diselesaikan secara maksimal. Ada data yang menyampaikan bahwa masalah ini tidak diselesaikan karena pihak kemanan juga terlibat didalamnya dalam bentuk dukungan demi mendapat keuntungan.

Persoalan ini kemudian menciptakan kesan dan keadaan dimana perempuan secara sadar menjual daging badannya dengan sadar untuk mendapat uang. Kesannya seperti daging-daging yang dijual beli dipasar yang kemudian diolah menjadi makanan kenikmatan.

Menjual tubuh manusia secara sadar seperti makanan yang dijual secara sadar, aktif dan penuh dengan mengutamakan berbagai alasan tidak masuk akal sehat yang dijadikan pembelaan. Semua Perempuan dimana-mana melakukan ini semuanya. Mereka menjual dirinya, menjual martabatnya, menjual daging tubuhnya seperti makanan mewah dan makanan warung sederhana dengan harga terjangkau bagi beruang.

Kita kembali lagi pada masalah praktik emansipasi yang penyelesaian tidak jelas. Perjuangan yang tidak mencapai target. Kaum emansipator pun tidak punya kekuatan untuk mendapat jawaban atas persoalan ini. Masalahnya bila mencari dukungan pada pihak keamanan pun menjadi lemah..

Sadar entah tidak sadar masalah Pelacuran ini membuat dan minciptakan martabat perempuan yang diinjak. Emansipator dan aktifitas emansipasi tidak punya kerja sama yang kuat. Emansipator berjuang menggapai kesetaraan namun tumbuh bersama dengan aktifitas pelacuran di mana mana.

Kesan lainnya adalah perempuan sudah biasa dijual beli seperti makanan. Demi uang mereka secara dasar bersedia dijual belikan. Kenyataan inilah membiasakan manusia yang sama harga dirinya dengan binatang. Cara hidup dan gaya hidupnya pun seperti binatang yang tidak ada akal sehatanya alias menggunakan insting hewanitas.

Manusia yang tidak bisa disamakan dengan daging di pasar kini para pelacur dan perusahaan pelacuran membalikan semua ini. Padahal manusia itu adalah ciptaan yang tidak ada alasan untuk disamakan dengan makanan. Sebab manusia adalah subjek utama dan pelaku utama yang mengendalikan hidup. Namun adanya pelacuaran ini perempaun menjadi subjek yang mengobjekan dirinya. Mereka memermainkan dirinya secara sadar hingga mengalami kematian yang sama nilainya dengan binatang yang mati begitu saja.

Maka wajarlah praktik emansipasi dikatakan sia-sia perjuangannya untuk menjawab masalah emansipasi wanita. Bahkan mengklaim bahwa martabat perempuan direndahkan oleh kaum laki-laki padahal faktanya para pelacur adalah penyebab utamanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline