Lihat ke Halaman Asli

Menyongsong Kurikulum Merdeka, Dinamis tapi Pasif?

Diperbarui: 4 Juli 2022   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagaimana yang sering kita baca dan dengar, kurikulum pada dasarnya disusun untuk memenuhi kebutuhan siswa. Kurikulum merupakan guide line untuk memastikan siswa mendapatkan ketrampilan hidup yang diperlukan sesuai dengan potensinya setelah selesai menempuh pendidikan di satuan pendidikan. Kurikulum haruslah bersifat dinamis karena kebutuhan siswa untuk hidup di 2022 tidak sama dengan siswa pada tahun 2000. 

Contoh sederhana seorang anak yang hidup dilingkungan pertanian pada tahun 2000  memiliki cita-cita menjadi petani. Maka ketrampilan utama yang harus dimilikinya adalah memahami komponen-komponen utama dalam pertanian dan bagaimana bercocok tanam yang benar. Maka ketika dia di sekolah guru akan membekalinya dengan pengetahuan seputar tanah,tumbuhan. Guru juga tak segan -segan mengajak praktik langsung untuk bertanam. Namun pada tahun 2022 anak yang tinggal di lingkuangan yang sama dengan cita-cita sama tidak cukup hanya mempelajari hal-hal diatas. Perkembangan teknik-teknik bercocok tanam lebih variatif, kemajuan teknologi juga tidak dapat diabaikan. maka apa yang harus dipelajari oleh anak tersebut pastilah tidak sama dengan anak pada tahun 2000. Inilah mengapa kurikulum pendidikan haruslah dinamis mengikuti perkembangan jaman.

Keberhasilan suatu kurikulum sangat bergantung kepada semua komponen yang terlibat dalam satuan pendidikan yang melaksnakan kurikulum tersebut. Salah satunya adalah pendidik/guru. Pendidik haruslah adapatif, mau terus belajar dan tidak selalu berkaca kebelakang, membandingkan jamannya dengan jaman sekarang yang pasti tidak akan relevan. Namun hal sederhana ini nyatanya masih sering terjadi di lingkungan kita. Berkali-kali kurikulum diganti, namun perubahan besar hanya terlihat pada format rapot akhir dan bentuk assesmen semata. Selebihnya tidak jauh berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya terutama pada sisi pembelajaran. Pendidik kadang sangat berpaku pada gaya mengajar lama, dan terlanjur nyaman dengan metode yang telah diterapkan selama belasan atau bahkan puluhan tahun yang pada akhirnya mengabaikan anjuran yang telah dirancang dalam kurikulum.

Indonesia tercatat sudah 10 kali mengalami perubahan kurikulum, tiap bergantinya pemerintahan maka kurikulum biasanya akan direvisi atau malah diganti. Tak jarang hasil evaluasi dari kurikulm sebelumnya tak pernah dikupas habis secara transparan. pendidik sebagai salah satu ujung tombak kelimpungan mengikuti perubahan kurikulum yang tak ada habisnya dan berakhir pada anggapan "kurikulum hanyalah dokumen pelengkap" . Hadirnya kurikulum merdeka tidak serta merta membawa angin segar, stigma yang terlanjur melekat puluhan tahun bahwa kurikulum hanyalah dokumen tidak bisa dienyahkan begitu saja. Ada kekhawatiran tentang bagaimana kurikulum ini akan berjalan, bagaimana respon siswa dan bagaimana hasil akhirnya, apakah kurikulum ini nantinya bisa mengayomi kebutuhan siswa

Kurikulum  kita yang sangat  "dinamis" ini  tidak akan berhasil tersampaikan apabila para komponen yang melaksanakanya bersifat pasif. Dalam hal ini bukan hanya menjadi tugas pendidik, namun semua elemen dalam satuan pendidikan, yakni Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa. Oleh karena itu, sebelum kurikulum ini hadir maka harus ada penyatuan pandangan kepada seluruh komponen tersebut.  Pemerintah sebagai perumus kebijakan hendaknya juga tidak lepas tangan setelah nantinya kurikulum ini berjalan dan tetap menyampaikan hasil evaluasi. (Aofa)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline