Lihat ke Halaman Asli

"Koffie..."

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya telah mengambil keputusan besar dan ku pikir memang hidup harus dijalani dengan keputusan-keputusan mendasar yang kadang sulit ditebak dan dicerna. Aku mengamini setiap langkah dalam hidup tidak akan pernah ada yang sia-sia, termasuk keputusanku untuk tidak menyukai matematika dan takut dengan kucing. Aku mensyukuri bahwa ibuku tidak pernah marah ketika melihat nilai raport matematika ku selama 2 tahun di SMP terpampang angka lima. Dulu aku tak pernah mengerti, setiap beliau melihat angka 5, yang ada hanyalah senyum dan dia masih begitu yakin putrinya akan tumbuh dengan baik dan sehat walafiat. Lalu sekarang aku mengerti.

Ya aku mulai mengerti, setitik langkah dalam  hidup mengandung resiko terselubung pada masa yang akan datang. Bahwa aku tumbuh dengan tidak menyukai ilmu science, tak akan menghalangiku menyukai Steve Jobs ataupun Einsten. Dunia  berevolusi, saat aku menghitung umurku sudah berkepala dua. Ini mengingatkanku pada pepatah lama dari si pembalap yang meninggal di masa kejayaanya : Senna, "Jika kau ingin menikmati hidup, pelankanlah ritme hidup mu". Setidaknya aku punya pembenaran lain selain pepatah jawa "Alon-alon watun kelakon".

Setiap orang akan merencanakan hidupnya untuk tertata dengan baik, dengan berbagai moto hidup, baik yang memilih pelan-pelan atau gubras-gubrus sak udele dhewe. Ya percayalah, Tuhan sudah memberi alur dengan jalanya, walaupun ekskusi berada ditangan kita. Setidaknya ada satu hal yang bisa dipahami saat kamu berani memilih. Artinya kamu bukan pecundang dan pengecut. Kamu diakui oleh hatimu, pikiranmu dan tentu saja orang lain. Jika kamu bingung maksudku dari hal ini, coba baca diary hidupmu dengan kode refleksi dan pastikan bahwa alurmu tidak poco-poco seperti bu Mega bilang kepada SBY.

Ups, tiba-tiba aku merasa haus. Sebentar ya, aku minum dulu.. (jeda)

Oke, dari segelas air yang baru saja aku minum, tenggorokan ku terasa segar tapi nagih. Aku khawatir dan takut minum lagi. Kalau dituruti minum terus, aku bisa bolak balik tangga dan menjadi langsing gara-gara tergoda ke kamar mandi. Hehehe. Inilah yang ku sebut kamus ketakutan.Bukan hanya takut minum dan berefek domino ke kamar mandi, senyatanya aku, kamu dan mereka pernah (sedang) takut  akan masa depan. Di dalam jiwamu paling mendasar, di bawah alam sadarmu sebagai manusia, ketakutan sebenarnya adalah kamus wajar yang kamu bawa kemanapun kamu pergi. Terkadang  kamu takut dengan kematian, miskin dan kurang makan. Ketakutan adalah teman tak berjarak, hanya hasrat dalam dirimu lah yang kemudian mendorongmu memberi jarak diantara kalian berdua. Namun, sekian banyak dihadang ketakutan dan makin lama makin tak terhitung jumlahnya, barulah aku tahu, ketakutan adalah sahabat terbaikku untuk menjawab pertanyaan paling mendasar dalam hati. Tentang siapa dirimu dan apa mau mu. Benarkah? Ya jawabku mantap. Lalu kenapa kau begitu takut, padahal Tuhan sangat ikhlasnya memberikan mu hidup tanpa perlu konpromistis dengan malaikat atau setan.

Ah, sudah jam setangah dua malam.Ya sudah, mari bersulang (Koffie) ;D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline