Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) memang sudah usai di beberapa wilayah di Indonesia. Bahkan, ada beberapa sekolah di Jatim yang sudah mulai menyelenggarakan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Namun, apakah benar PPDB dengan sistem zonasi ini sudah benar-benar tepat untuk pemerataan pendidikan yang lebih baik? Apakah benar tidak ada kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam sistem ini?
Seperti yang kita ketahui, PPDB Jatim tahun 2023 kali ini juga menambahkan penilain indeks sekolah sebagai dasar pertimbangan penerimaan calon siswa. Sedangkan indeks sekolah diperoleh dari rata-rata nilai alumni sekolah asal calon peserta didik. Jika tahun lalu nilai rata-rata alumninya tinggi, maka bisa dipastikan nilai indeks sekolahnya baik. Akan tetapi, jika rata-rata nilainya rendah, adik kelasnya yang akan menanggung pengurangan nilainya. Adilkah yang demikian?
Beberapa wali murid sempat mengeluhkan cara pemberian nilai akhir (NA) pada PPDB kali ini. Terutama pada pendaftaran lewat jalur prestasi akademik. Si anak yang sudah belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai tinggi di sekolah, ternyata setelah memasukkan berkas pendaftaran pada sistem nilainya jadi rendah.
Hal ini dikarenakan penentuan nilai akhir harus berdasarkan pada tiga komponen, yaitu nilai akreditasi sekolah (20%), nilai indeks sekolah (30%), dan nilai rata-rata rapor si anak (50%). Setelah semua digabungkan, ternyata nilai si anak yang awalnya tinggi malah jadi rendah.
Contohnya nilai seorang siswi dari salah satu SMP Negeri yang awalnya 96 setelah masuk sistem komputer PPDB Jatim jadi 91. Berkurang lima poin. Bisa dibayangkan kecewanya, bukan? Terlebih saat pengumuman, namanya tidak tercantum lagi di daftar siswa yang diterima di SMA pilihannya.
Nilai rata-rata 96, hampir mendekati nilai sempurna (100), tapi belum bisa masuk SMA Negeri favorit pilihannya. Apakah si anak kurang rajin belajarnya? Apa nilainya harus 110 agar bisa dapat nilai akhir tinggi? Apakah salah sekolah asal yang nilai indeks atau akreditasinya rendah? Lalu, siapa yang harus disalahkan? Prihatin, bukan?
Sebenarnya, apa sih keuntungan nilai indeks sekolah dan nilai akreditasi bagi siswa SMP yang lulus? Nyatanya hanya mengurangi nilai untuk pendaftaran masuk SMA atau SMK saja, bukan? Mungkin akan berbeda jika di tingkat SMA, nilai akreditasi dan indeks sangat diperlukan untuk masuk perguruan tinggi, tetapi kan tidak semua ingin melanjutkan ke perguruan tinggi?
Tahun lalu, saya juga mendaftarkan putri saya masuk SMA melalui jalur prestasi akademik, sebab menggunakan jalur zonasi sudah tidak mungkin karena tempat tinggal kami berjarak 1,3km dari sekolah tujuan. Sedangkan dari tahun ke tahun (sejak 2019), jarak terjauh siswa yang diterima sekolah tersebut tidak lebih dari 900m. Hanya melalui jalur nilai kami bisa bersaing, tetapi komponennya tidak seperti tahun ini, ada penambahan nilai indeks sekolah yang berakibat pengurangan nilainya banyak.
Tahun lalu hanya gabungan nilai rapor dan nilai akreditasi sekolah yang digunakan untuk menentukan nilai akhir (NA). Jadi, tidak banyak pengurangannya. Namun, tahun ini benar-benar memprihatinkan. Ditambah dengan sistem komputer yang kurang transparan, tidak mencantumkan asal sekolah calon siswa, membuat orang tua murid berpikir yang bukan-bukan. Apa memang ada jalur yang "bukan-bukan" pada sistem PPDB tanpa sepengetahuan wali murid lain?
Semula mungkin hanya pikiran jelek kami-kami saja, orang tua murid yang anaknya tidak masuk sekolah negeri karena nilainya kurang tinggi. Namun, setelah ada kabar burung, yang bercerita bahwa memang begitu adanya, beberapa wali murid hanya bisa mengelus dada.