Mudik, ada yang mengatakan berasal dari Bahasa Jawa mulih disek. Ada juga yang mengatakan menuju udik. Rata-rata orang bilang, mudik adalah pulang ke kampung halaman.
Sebagai contoh bila para pendatang di kota besar pulang ke kampung halaman saat lebaran, disebut mudik. Apakah sebutan itu berlaku juga bagi para pendatang di daerah menuju kota besar? Bagi saya sih disebut mudik juga.
Nah, kalau kota besarnya berdampingan, seperti Surabaya dan Sidoarjo. Apakah jika saya tinggal di Sidoarjo lalu pulang ke Surabaya juga disebut mudik? Bisa disebut mudik juga kan?
Di sini saya ingin menceritakan pengalaman mudik kemarin. Usai salat Ied, seperti biasa kami saling bermaaf-maafan lebih dulu di rumah. Setelah itu menuju rumah tetangga sebelah kanan dan kiri yang tidak mudik.
Belum semua tetangga yang dikunjungi, sebab kami sudah ditunggu keluarga lain di Surabaya. Biasanya, kami hanya bermotor ke Surabaya. Jarak yang hanya 15 kilometer kami tempuh dalam waktu 20 menit.
Itu biasanya, tapi kali ini berbeda. Kami berencana pulang menggunakan taksi online karena kondisi suami saya belum memungkinkan bermotor jauh pascaoperasi.
Saat memesan taksi lewat aplikasi, kami tidak segera mendapatkan jawaban. Bahkan, hingga tiga aplikasi kami gunakan untuk memesan satu kendaraan saja tidak segera mendapat jawaban. Bukan hanya satu HP yang kami gunakan, HP kedua putri saya pun ikut digunakan memesan taksi tapi tidak segera dapat kendaraan.
Hampir satu jam kami menunggu. Mulai bertahan dengan satu pesanan, dibatalkan, pesan lagi harga naik, dibatalkan, pesan lagi naik lagi, dibatalkan lagi, belum juga dapat kendaraan. Bukan masalah kenaikan harga saat kami membatalkan pesanan, tapi karena tidak dapat-dapat. Siapa tahu setelah dibatalkan segera dapat.
Ternyata benar, setelah pembatalan ke sekian, akhirnya kami mendapatkan kendaraan. Itu pun bukan mobil pribadi seperti layaknya taksi online, melainkan taksi biru bersimbol burung. Bukan masalah, yang penting kami dapat tumpangan agar bisa sampai ke rumah Ibu di Surabaya.