Stoikisme merupakan sebuah ilmu filsafat dari Yunani Kuno yang dicetuskan oleh Zeno dari Citium sejak abad ke-3 sebelum Masehi (SM). Filosofi Stoikisme mengajarkan bahwa dalam kehidupan, semua hal yang terjadi dalam hidup kita tergantung pada bagaimana kita menginterpretasikan hal tersebut. Tidak ada hal yang baik maupun buruk, segalanya bersifat netral.
Yang menarik bagi saya adalah para filsuf Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar. Pernyataan ini menarik karena saya rasa hampir semua orang di dunia ini sudah terpatri dalam pikirannya untuk meraih kebahagiaan. Termasuk diri saya sendiri.
Jika kita telaah kembali. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebahagiaan adalah kesenangan dan ketentraman hidup (lahir batin); keberuntungan; dan kemujuran yang bersifat lahir batin. Banyak orang yang merasa bahwa kesenangan dan ketentraman hidup bisa didapatkan atau digantungkan dari oranglain.
Hal ini mengingatkan memori saya akan peristiwa yang terjadi sekitar 7 tahun lalu sewaktu saya masih berkuliah. Selayaknya anak kuliahan pada umumnya, yang berjuang untuk bisa mendapatkan nilai yang baik juga menyelesaikan skripsi di waktu yang tepat, saya merasa cukup stress pada waktu itu. Sehingga, saya mencari pelarian dengan teman-teman saya dengan membicarakan mengenai jodoh dan pernikahan. Yang padahal usia saya pada waktu itu baru menginjak 21 tahun dan belum ada calon juga.
A: Pusing banget ya skripsian. Apa kita nikah aja ya?
T: Yuk deh, pusing banget!
A: Saya, T: Teman
Pada waktu itu mungkin saya berpikir bahwa dengan menikah, semua persoalan hidup bisa selesai dan saya bisa bahagia. Tapi apakah hal tersebut sepenuhnya benar? Tidak sama sekali. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa saya sangat berharap untuk dapat bahagia dengan menggantungkan kebahagiaan pada oranglain, bukan pada diri sendiri.