Adhe Nuansa Wibisono, S.IP
Kajian Terorisme FISIP UI
Jakarta, 16 Oktober 2012
Sumber Utama : Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005)
Tulisan ini merupakancritical review dari artikel Bice Maiguashca, ‘Globalisation and the politics of identity’,(2005) hal 117-136. Maiguashca pada artikel ini menjelaskan konsep identitas politik dalam globalisasi. Pada artikel ini Maiguascha akan melihat empat perspektif yang akan dirangkum menjadi dua pada artikel ini yaitu konsep ‘identitas kolektif’ menurut Scholte dan ‘politik pengakuan’ menurut Linklater. Pada artikel ini kita akan melihat bagaimana proses identitas terbentuk, selain itu penulisan ini juga ditujukan untuk merangkum dan membandingkan teori yang sama dari beberapa penulis berbeda. Kemudian akan dilakukan analisa dan menarik suatu kesimpulan.
Rangkuman
Pada artikel ini Bice Maiguashca mencoba menjelaskan akan masalah identitas pada globalisasi, ia melihat bahwa identitas-identitas di bawah negara muncul dan mengemuka pada saat era keterbukaan globalisasi hadir. Kehadiran kelompok ethno-religius, feminisme, indigenous people yang semakin massif dalam menujukkan aspirasi akan identitas politik yang mereka perjuangkan. Hal ini menjadi menarik ketika terjadi pertemuan antara globalisasi, negara-bangsa, dan kelompok identitas. Globalisasi mengakibatkan semakin pudarnya batas-batas wilayah dalam konteks negara-bangsa, tetapi mengapa dengan hadirnya globalisasi kemunculan dari kelompok identitas ini semakin menguat? Apakah dengan hadirnya globalisasi juga ikut mendorong akan penguatan kedasaran politik dalam kelompok-kelompok ini, kesadaran yang mendorong akan pentingnya identitas politik. Bice Maiguascha mencoba untuk melihat pendapat Scholte mengenai ‘identitas kolektif’ dan pendapat Linklater mengenai ‘politik pengakuan’.
Scholte Dan Politik ‘Identitas Kolektif’
Argumen utama Scholte bahwa globalisasi menghasilkan tantangan yang mendasar atas konsep dan praktik ‘state sovereignty’ kedaulatan negara, terutama sistem negara yang dipahami oleh kaum realist (Scholte 1996; 2000b). Produksi global, keuangan, komunikasi dan ancaman seperti kerusakan lingkungan, dapat melemahkan kemampuan negara untuk melakukan kontrol atas apa yang terjadi di wilayahnya sendiri. Bersamaan dengan penurunan kedaulatan negara, globalisasi telah memunculkan identitas politik alternatif yang merefleksikan pola baru dari identifikasi diri yang lain, yaitu apa yang disebut dengan politik identitas (Scholte 1996 : 39; 2000b: 86, 107). Globalisasi telah memfasilitasi kemunculan dari ‘politik identitas’ yang sejak tahun 1960-an telah melemahkan posisi dari negara-bangsa sebagai struktur sosial utama di masyarakat dan juga ikut meningkatkan munculnya beragam framework alternatif akan struktur sosial. Pada prosesnya, bangunan dari identitas kolektif bergerak untuk menjadi semakin multidimensi dan tidak pasti. Scholte melihat identitas kolektif menjadi ‘penanda’ bagi sejumlah gerakan sosial.[1]
Untuk menemukan kedekatan interaksi pada saat teknologi globalisasi telah membuka ruang keterbatasan akan jarak, benda, tempat, gagasan yang nampaknya tidak mencapai sasaran (Scholte 1996 : 55). Dalam perspektif ini, mobilisasi akan identitas kultural dilihat sebagai upaya untuk mendekatkan seseorang secara personal dan kultural kepada komunitasnya. Mungkin saja perspektif ini ada benarnya, gerakan indigenous people juga berupaya untuk melakukan perlawanan terhadap relasi kekuasaan yang mengancam eksistensi keberadaan mereka, dengan persenjataan yang tidak berimbang, baik melalui dominasi dan kekerasan seperti genosida budaya (Maiguashca 1994).[2]
Scholte mencoba menjelaskan bahwa globalisasi memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok identitas untuk menemukan akar identitasnya. Melalui teknologi informasi yang membuka keterbatasan akses, kelompok identitas menemukan ruang konsolidasi, ruang pertemuan yang selama ini mungkin dibatasi oleh kontrol dan pengawasan negara. Dengan adanya ruang pertemuan ini maka penguatan identitas-identitas kolektif menjadi memungkinkan dan penguatan basis massa dari kelompok identitas menjadi eksis. Kehadiran kelompok identitas ini kemudian memberikan saluran alternatif politik bagi gerakan sosial di tengah melemahnya peran negara dalam era keterbukaan globalisasi ini.