Lihat ke Halaman Asli

AEC 2015 dan Reformasi Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketidaksiapan Indonesia

Akhir tahun 2015 akan menjadi batas tenggat waktu bagi Indonesia untuk memasuki ASEAN Economic Community (AEC), masyarakat ekonomi ASEAN yang membuka batas-batas aturan mengenai pajak, tarifdan bea untuk barang dan jasa di kawasan Asia Tenggara.

Hadirnya AEC ini juga akan berpengaruh tidak hanya pada sektor perdagangan bebas untuk berbagai produk barang tetapi juga akan berpengaruh terhadap sektor tenaga kerja. Dengan AEC berbagai negara di ASEAN akan dengan bebasbersaing untuk mengisi sektor tenaga kerja di seluruh negara ASEAN.

Bagi negara yang memiliki tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan dan kompetensi yang tinggi, AEC ini akan menjadi peluang untuk melakukan ekspansi tenaga kerja ke negara ASEAN lainnya. Bagaimana dengan Indonesia, apakah sebenarnya Indonesia sudah memiliki kesiapan untuk menghadapi AEC ini?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2013 menyebutkan bahwa postur tenaga kerja Indonesia adalah pekerja lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah berjumlah sebesar 52 juta orang (46,93%) atau hampir setengah dari total pekerja sebesar 110,8 juta orang.

Kemudian pekerja lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 20,5 juta orang (18,5%), pekerja lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 17,84 juta orang (16,1%). Jumlah paling rendah ditemui pada pekerja lulusan universitas dengan jumlah 7,57 juta orang (6,83%) dan lulusan diploma sejumlah 2,92 juta orang (2,63%).

Sebagai perbandingan, menurut data Department of Statistics Malaysia (DOSM) pada tahun 2012, jumlah tenaga kerja Malaysia adalah 13,12 juta orang dengan postur sebesar 7,32 juta orang (55,79%) adalah lulusan sekolah menengah dan sejumlah 3,19 juta orang (24,37%) adalah lulusan universitas dan diploma.

Negara ASEAN lainnya seperti Singapura, menurut data World Bank pada tahun 2012 memiliki jumlah tenaga kerja sebesar 3,22 juta orang dengan pekerja lulusan sekolah menengah sebesar 49,9% dan lulusan universitas dan diploma sebesar 29,4%.

Dari data tersebut kita dapat melihat bahwa hampir dari separuh tenaga kerja Indonesia (46,93%) adalah low skilled labour lulusan SD yang secara kontras dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang sekitar 80% tenaga kerjanya adalah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi. Hal ini menyiratkan ketidaksiapan Indonesia dalam pasar bebas tenaga kerja di ASEAN jika AEC diberlakukan per 31 Desember 2015 nanti.

Akses Pendidikan Tinggi

Akar masalah dari betapa rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia,akan ditemukan satu masalah pokok yaitu kepada terbatasnya akses pendidikan tinggi disebabkan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia.

Menarik melihat wacana baru tentang akses pendidikan tinggi yang digulirkan oleh aktivis mahasiswa, salah satunya oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang mewacanakan ide Jaminan Pendidikan Nasional (Jamdiknas), yang menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan penyelenggaraan jaminan pendidikangratis dan berkualitas hingga sarjana (S1) kepada seluruh anak Indonesia (Republika, 28 April 2014).

KAMMI mengusung ide Jamdiknas dengan argumen bahwa jika alokasi anggaran pendidikan nasional yang mencapai Rp 371 trilyun ditambah APBD dan alih subsidi BBM maka alokasi anggaran tersebut dianggap cukup untuk menyelenggarakan Jamdiknas (Antara News, 30 April 2014).

Berkaca kepada alokasi anggaran pendidikan nasional, satu masalah mendasar adalah terjadinya korupsi sistemik yang menggerogoti anggaran pendidikan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat selama kurun waktu 10 tahun antara 2003-2013 terungkap sebanyak 296 kasus korupsi pendidikan dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp 619 miliar. Perlu diingat bahwa kerugian ini berasal hanya dari kasus yang sudah terungkap dan masih banyak potensi korupsi pendidikan lainnya yang belum terungkap.

Mengenai ide negara menjamin pendidikan gratis hingga tingkat perguruan tinggi, Finlandia dapat dijadikan contoh. Seluruh tingkatan pendidikan di Finlandia mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi bersifat gratis karena sudah dibiayai oleh anggaran pemerintah. Terkait dengan kualitasnya, setiap staf pengajar di Finlandia minimal harus memiliki gelar magister (S2) agar bisa mengajar mata pelajaran di sekolah.

Dalam konteks pendidikan yang lebih ambisius, data yang dilansir Institute of International Education menyebutkan Tiongkok mengirimkan 157.558 pelajar ke Amerika Serikat pada tahun 2010-2011 untuk berbagai jenjang pendidikan tinggi, dari tingkat sarjana hingga doktoral. Angka pengiriman pelajar ini merupakan angka tertinggi dibandingkan negara lain yang menyiratkan upaya serius Tiongkok untuk menjadi yang terbaik dalam hal kualitas dan kompetensi sumber daya manusia.

Reformasi Kebijakan

Hal mendasar yang harus diprioritaskan oleh pemerintah Indonesia ke depan dalam menyambut AEC 2015 adalah mengubah orientasi pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia. Beberapa langkah yang dirasa perlu dilakukan Indonesia terkait gagasan tersebut, adalah :

Pertama, Pemerintah dalam waktu 5 tahun ke depan harus memberikan perhatian terhadap peningkatan kualifikasi pendidikan tenaga kerjanya yang sebagian besar terdiri dari lulusan sekolah dasar agar minimal dapat menjadi lulusan sekolah menengah. Ini mendesak dilakukan agar pekerja Indonesia dapat bertahan menghadapi AEC ke depannya.

Kedua, Pemerintah diharapkan dapat memberantas gejala korupsi sistemik yang terjadi khususnya dalam sektor pendidikan. Anggaran pendidikan yang berjumlah sebesar Rp 371 trilyun, jika tidak tergerus oleh bancakan para koruptor tentu akan menjadi modal utama pemerintah dalam menjalankan program-program pendidikan.

Ketiga, Indonesia secara bertahap melakukan reformasi kebijakan pendidikan yang kemudian dapat mendukung ide penyelenggaraan pendidikan gratis hingga tingkat perguruan tinggi. Penataan ulang pos anggaran secara efektif dan efisien seperti yang dilakukan Finlandia diharapkan dapat mewujudkan ide tersebut.

Keempat, Indonesia secara bertahap meningkatkan program beasiswa pengiriman pelajar dan mahasiswa ke luar negeri dan memiliki target capaian penambahan jumlah magister dan doktor secara nasional.

Dengan bertambahnya tenaga kerja yang memiliki kualifikasi pendidikan yang tinggi akan membuat Indonesia menjadi pemain potensial dalam sektor tenaga kerja regional dan global. Walaupun memasuki AEC 2015 dengan banyak ketidaksiapan melalui reformasi kebijakan pendidikan yang tepat, saya yakin dalam waktu beberapa tahun ke depan Indonesia akan bisa mengambil momentum ini.

* Adhe Nuansa Wibisono adalah peneliti ASEAN di The Habibie Center

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline