Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, tentu tidak bisa lepas dalam peranan dari partai politik yang memiliki posisi penting dalam tubuh demokrasi di Indonesia. Partai memiliki peran sebagai penghubung strategis antara pemerintah yang berkuasa dengan warga negara dalam proses-proses pemerintahan. Partai politik dapat disebut sebagai suatu bentuk pelembagaan sebagai proyeksi dari gagasan-gagasan, pandangan dan keyakinan dalam masyarakat demokratis hingga saat ini. (Thomas, 2012. p 27-30)
Kehadiran partai politik di Indonesia merupakan wujud kongkrit dari adanya kebebasan berkumpul atau berserikat sebagai nilai-nilai fundamental dalam demokrasi. Partai politik juga memiliki peran yang penting dalam proses untuk mewujudkan nilai dan kepentingan dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalam rangka bernegara yang menjadi penghubung antara warga negara dengan institusi kenegaraan. (Thomas, 2012. p 27-30)
Namun dengan sistem pemerintahan Indonesia yang presidential dan sistem kepartaian di Indonesia yang bersifat multi-partai yang menyebabkan banyaknya partai-partai politik yang ikut berpartisipasi dalam lembaga perwakilan sehingga koalisi menjadi satu-satunya cara untuk dapat mendapatkan suara terbanyak dalam pengambilan keputusan saat paripurna, dan partai lebih condong mudah berpindah koalisi dan bertindak pragmatis dengan mengutamakan kepentingan jangka pendek.
Jika dilihat dari sudut pandang teoritis, hal tersebut sangat berkaitan dengan apa yang telah disampaikan oleh Linz dalam buku yang ditulis Cheibub tahun 2007 dalam bukunya yang berjudul Presidentialism, Parliamentarism and Democracy yang membahas skema tentang breakdown of democracy.
Skema tersebut mengatakan bahwa dalam sistem presidensial dengan multipartai, partai politik merupakan salah satu faktor yang dapat memicu partai cenderung mudah untuk berpindah koalisi dan membuat mereka cenderung pragmatis (Cheibub, 2007, Hlm 8).
Melalui tulisan ini, penulis ingin menunjukan tentang bagaimana dinamika yang terjadi dalam fraksi-fraksi di DPR RI saat sidang paripurna DPR RI pada saat penulis sedang melaksanakan kegiatan magang dengan salah satu anggota DPR RI.
Kecendrungan partai politik di Indoensia khususnya pada tahun pemerintahan saat ini cenderung menunjukan sikap yang pragmatis. Dapat dilihat dari saat terjadi proses pengesahan RUU pemilu yang kemudian disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna pada tanggal 20 sampai dengan 21 Juli 2017 yang telah melewati masa sidang yang memakan banyak waktu dan akhirnya menyisakan 5 isu krusial yang diantaranya adalah Kelima isu tersebut adalah, 1) ambang batas presiden, 2) ambang batas DPR RI, 3) Sistem pemilu, 4) Alokasi kursi DPR RI per dapil, dan 5) Metode konversi suara.
Terlihat adanya proses deliberatif antara kedua kubu,yaitu kubu pendukung pemerintah dan kubu oposisi. Jalannya paripurna tersebut juga diwarnai oleh saling lempar argumen antara dua kubu tersebut dalam rangka usaha melegitimasi apa yang menjadi kepentingan masing-masing partai.
Sangat terlihat partai yang menjadi pendukung pemerintah tetap gigih mendukung rancangan undang-undang dengan memilih paket kebijakan menguntungkan pihaknya, begitu juga sebaliknya, para fraksi juga menunjukan sikap yang berlawanan, rapat pun menjadi alot dan menyebabkan tidak terciptanya konsensus, voting pun menjadi satu-satunya jalan keluar untuk menentukan kebijakan yang akan disahkan.
Hal tesebut dikarenakan UU tersebut merupakan penentu bagi nasib mereka dalam mempertahankan kekuasaan dan mencari kekuasaan baru untuk pemilu 2019.
Dari proses pengesahan kebijakan tersebut terlihat terciptanya polarisasi yang terjadi dalam tubuh fraksi-fraksi DPR RI, malah menimbulkan polemik pada saat proses pengesahan kebijakan, seharusnya polarisasi politik dapat memberikan dampak positif terhadap lembaga perwakilan. Pihak yang tidak terpilih berserta koalisinya bisa menjadi penyeimbang bagi pemerintah sebagai oposisi.