Lihat ke Halaman Asli

Khairul Anwar

Learning and Development Specialist

Kunci Tempo Terus Bertahan; Azas Jurnalisme

Diperbarui: 12 Juni 2019   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detik.com

Majalah Tempo edisi 10-16 Juni 2019 berjudul "Tim Mawar dan Rusuh Sarinah" menggemparkan jagat pemberitaan Tanah Air. Dalam beberapa jam saja, majalah itu habis di pasaran. Bahkan di internal Tempo sendiri muncul wacana untuk mencetak ulang. Situasi itu mirip era orde baru, di mana majalah atau koran investigasi yang menyinggung penguasa dengan cepat lenyap dari peredaran.

Laporan itu mengungkap keterlibatan bekas anggota Tim Mawar --yang juga terlibat penculikan aktivis 1998- dalam kerusuhan 22 Mei. Laporan investigasi Tempo dengan gamblang memaparkan keterangan kepolisian tentang otak di balik kerusuhan 22 Mei dan diperkuat keterangan pelaku lapangan.

Karena 'gerah' dengan pemberitaan Majalah Tempo itu, Mantan Komandan Tim Mawar, Jenderal TNI (Purn) Chairawan, melaporkan Tempo ke Dewan Pers atas tuduhan membuat pemberitaan yang tidak sesuai fakta dan memojokan Tim Mawar dalam aksi 21-22 Mei yang menewaskan 8 orang beberapa waktu lalu. Sebelumnya, ia juga merencanakan melaporkan Majalah Tempo ke Bareskrim Polri. Namun keburu diingatkan Wakil Ketua Dewan Pers, Ahmad Djauhar, jika melaporkan produk pemberitaan ke Bareskrim Polri maka akan ditolak dan diarahkan ke Dewan Pers.

Dalam sejarahnya, bukan kali ini saja Tempo direpotkan dengan berbagai laporan, tuduhan, hinaan, bahkan sampai tindakan teror dan persekusi. Beberapa kali laporan investigasi yang menyelidiki dan mengupayakan pembuktian adanya kejahatan serius, korupsi atau kebusukan korporasi membuat 'gerah' banyak pihak. Dari laporan soal bea-cukai di Pelabuhan Tanjung Priuk, utang Pertamina, tragedi Tampomas II, minyak Zatapi, penjara Pondok Bambu, hingga "rekening gendut" polisi.

Salah satu laporan investigasi Tempo yang mengakibatkan reaksi tak terduga di era reformasi adalah soal skandal pajak Asian Agri. Sampul majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 berjudul "Akrobat Pajak" itu membongkar penyelewengan pajak PT Asian Agri Group yang dilakukan pada 2002 hingga 2005 senilai Rp. 1,1 triliun.

Tempo harus meladeni laporan di Dewan Pers, Kepolisian hingga di pengadilan. Bahkan yang lebih mengerikan adalah teror, tuduhan dan pelaporan kepada pribadi wartawan yang meliput skandal itu.

Terbongkarnya skandal pajak PT Asian Agri ini terungkap berkat 'nyanyian' dari Vincentius Amin Susanto, mantan top executive PT Asian Agri Group dengan jabatan Group Financial Controller. Vincent menjadi 'whistle blower' dalam pengungkapan skandal pajak bekas perusahaan tempatnya bekerja. Wartawan Tempo, Metta Dharma Saputra, secara khusus menemui Vincent di Singapura untuk menggali berbagai fakta, data dan dokumen skandal itu.

Metta harus menghadapi teror yang tak terduga. Teleponnya disadap, salinan percakapan pribadi periode Maret-Juli 2007 disebar ke berbagai media, komunikasi lewat internet pun dipantau. Metta dituduh berkongsi dengan seorang pengusaha untuk membiayai pelarian saksi kunci skandal Asian Agri, Vincent, dengan motif persaingan bisnis melawan Sukanto Tanoto, pemilik Asian Agri. Ia dituding memakai dana gelap untuk mencoreng nama Asian Agri dan menjualnya seharga Rp. 70 juta. Metta harus menghadapi berbagai tuduhan yang bertujuan untuk membunuh karakter Metta sebagai wartawan yang melakukan investigasi skandal itu. Mirip seperti nasib yang dihadapi Gary Web dalam film Kill The Messenger, dimana ia dan keluarganya berada dalam bahaya karena membongkar skandal CIA dalam kasus obat terlarang yang mendanai pemberontak Nikaragua.

Tak hanya Metta, Pemimpin redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad, dibisiki orang dekat Asian Agri bahwa data pribadi ia dan keluarganya, juga Metta, sudah di tangan mereka.

Tempo mendadak menjadi sorotan, sejumlah mahasiswa dari kampus ternama tiba-tiba datang untuk meneliti kredibilitas Tempo dengan berbagai teori kritis yang mirip seperti analisis krisis, teori framing dan analisis wacana atas pemberitaan tempo. Seminar-seminar digelar, mengupas apakah Tempo masih layak dipercaya dengan mendatangkan alumni dan dosen dari universitas ternama. Semua itu dilakukan untuk meragukan kredibilitas Tempo.

Tempo terlatih menghadapi berbagai tekanan sejak pertamakali terbit pada 1971, termasuk tekanan yang paling mematikan, dari penguasa. Di masa Orde Baru, Tempo dua kali dibredel. Pada tahun 1982, Tempo dibredel karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Namun dibolehkan terbit kembali setelah menandatangani "janji" dengan Ali Murtopo, Menteri Penerangan saat itu. Lalu pada Juni 1994, Tempo kembali dibredel karena dinilai terlalu keras mengkritik Menristek saat itu, Habibie dan Presiden Soeharto soal pembelian kapal bekas dari Jerman Timur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline