18 tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, tercatat dalam sejarah sebagai Hari Reformasi Indonesia. Pada saat itu Suharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia setelah 32 tahun berkuasa. Proses reformasi itu bukan suatu hal yang pendek dan mudah. Para ‘pahlawan reformasi’ telah memulai perjuangan reformasi mereka selama bertahun-tahun. Korban jiwa berjatuhan, ekonomi semakin kritis, keamanan semakin kacau. Para ‘pahlawan reformasi’bukan hanya tokoh politik, mahasiswa, dan masyarakat umum, media juga berperan sangat penting dalam reformasi 1998.
Lahirnya Media
Rezim orde baru kuat karena disokong oleh media. Lewat Departemen Informasi, presiden Suharto berusaha memonopoli informasi untuk menghindari sikap kritis masyarakat. Puluhan media cetak yang kritis terhadap pemerintah telah di bredel. Izin penyiaran televisi swasta tidak diberikan. Praktis TVRI menjadi stasiun televisi tunggal dan sangat di kontrol pemerintah. TVRI menjadi corong pemerintah untuk mengamankan rezim. Pemberitaannya didominasi oleh berita pembangunan dan aktivitas para pesohor politik.
Izin pernyiaran televisi swasta baru muncul dekade 1980-an. Kebijakan ekonomi yang dibuat Suharto menimbulkan ketimpangan. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.Para orang kaya merasa perlu media untuk memasarkan produk-produknya. Televisi dianggap sebagai media yang paling efektif karena memiliki jangakuan yang luar, serta media yang paling menarik karena menggunakan audio dan visual.
Akhirnya rezim orde baru tak kuasa membendung hal itu. Izin penyiaran pun diberikan. Namun hanya orang-orang terdekat Suharto yang diberikan izin. Stasiun televisi swasta pertama yang diberikan izin adalah RCTI yang dimiliki oleh anak Suharto sendiri, Bambang Triatmodjo. Kemudian disusul oleh TPI (kini MNC TV) yang dimiliki oleh Tien Suharto, istri Suharto. Lalu SCTV dan Indosiar yang dimiliki oleh Salim Grup, pengusaha yang dekat dengan Suharto.
Jurnalisme Luluh
Meski diizinkan melakukan aktivitas penyiaran, stasiun-stasiun televisi swasta tersebut tidak boleh memproduksi muatan jurnalistik. Semua muatan jurnalistik diproduksi oleh TVRI lewat program Dunia dalam Berita.Program itu wajib di relayoleh stasiun-stasiun televisi swasta.
Akan tetapi program itu dianggap kurang menarik karena kontennya hanya itu-itu saja dan disiarkan oleh semua stasiun televisi. Akhirnya stasiun-stasiun televisi itu membuat siasat. Mereka mendirikan perusahaan berita, agar jika program itu dicekal, maka yang dicekal adalah perusahaan berita itu, bukan televisinya. RCTI menayangkan program Seputar Indonesiayang diproduksi oleh PT Sindo, Indosiar menayangkan program Fokusyang diproduksi PT Indomediatama Wartatama. Keberadaan konten berita itu disambuat masyarakat Indonesia. Ratingprogram-program tsb pun tinggi.
Namun itu semua belum memuaskan hasrat publik akan berita yang bermutu. Program-program berita itu hanya memuat konten-konten berita ringan, seperti obituari pesohor atau pejabat yang meninggal, berita kriminal, kecelakaan, dan human interest.Mereka masih berusaha menghindari berita straight news.Dalam perjalanannya, intervensi pemilik kedalam ruang redaksi masih terjadi. Redaksi berusaha mengontrol berita-berita yang berkaitan dengan keluarga Cendana dan bisnis-bisnis si pemilik. Indosiar membentuk Komisi Siaran yang bertugas menentukan naik atau tidaknya suatu berita. Komisi ini dipimpin oleh seorang pensiunan tentara. Salah satu pendiri RCTI dan SCTV, Peter Gontha begitu mengontrol program berita di stasiun televisinya.
Jurnalisme Pembangkang
Meski berada dalam iklim yang tak kondusif yang dibentuk pemerintah dan pemilik media, terdapat sosok-sosok jurnalis pembangkang. Mereka meramu strategi agar bisa menaikan berita-berita kritis sehingga mendorong lahirnya reformasi. Wartawan Indosiar berusaha mengirim beritanya mendelang deadline agar tak sempat di koreksi oleh Komisi Siaran. Bahkan ada yang memberikan obat tidur kedalam minuman tim Komisi Siaran.