Lihat ke Halaman Asli

Anwar Abbas

Berbagi Inspirasi

Ketidakpercayaan, Penyebab Penolakan Vaksin

Diperbarui: 16 Februari 2021   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumentasi pribadi

Sejak program vaksinasi untuk covid-19 dilakukan oleh pemerintah Medio Januari lalu, yang ditandai dengan vaksinasi perdana oleh Presiden Joko Widodo, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menyosialisasikan program vaksinasi tersebut. Tapi, di kalangan masyarakat masih terdapat berbagai keraguan yang membuat mereka khawatir untuk ikut divaksin. 

Keraguan tersebut bisa jadi muncul karena banyaknya berita-berita yang belum tentu benar (hoaks) beredar di tengah-tengah masyarakat, atau masyarakat menganggap program vaksinasi yang tengah dijalankan saat ini kurang transparan. Salah satu yang sering dipertanyakan oleh masyarakat adalah menyangkut kualitas vaksin sinovac yang sekarang yang digunakan.

Ketidakpercayaan masyarakat yang berujun pada keraguan, sudah sampai pada tingkat akut. Hal tersebut dapat terlihat oleh berbagai komentar masyarakat di media sosial. 

Misalnya saja, sempat beredar hoax yang mempertanyakan apakah betul Presiden Jokowi betul-betul disuntik vaksin, atau hanya pura-pura disuntik? Atau, apakah yang disuntikkan kepada presiden betul-betul vaksin sinovac? Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat kita mengelus dada.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat. Ancaman sanksi bavi mereka yang menolak vaksin, dikhawatirkan justru kontra produktif dengan hasil yang diinginkan. Ancaman sanksi bukannya membuat masyarakat akhirnya mau untuk divaksin, tapi justru membuat masyarakat semakin meragukan program vaksinasi tersebut.

Pemerintah perlu melakukan usaha untuk menggugah kesadaran masyarakat. Dan untuk menggugah kesadaran tersebut, tidak akan efektif jika menggunakan ancaman. Kesadaran seseorang bisa muncul dengan pendekatan dari hati ke hati, atau dengan menunjukkan fakta dan data yang sebenarnya.

Untuk itu, pemerintah harus tampil dengan bahasa yang lebih bersahabat, mengedepankan para ilmuwan untuk tampil menjelaskan perkara vaksin ini kepada masyarakat. Pemerintah harus mengurangi muncul dengan bahasa kekuasaan, yang hanya berbicara masalah aturan-aturan administratif, atau sanksi-sanksi hukum yang akan diterima oleh para penolak vaksin.

Fokus saja untuk mengajak, bukan menakut-nakuti. Apalagi, ketika isu tentang sanksi bagi para penolak vaksin ini justru memunvulkan kegaduhan, ketidaktenangan, dan ketakutan di masyarakat, yang justru berpeluang menurunkan imunitas masyarakat. Bukankah hal tersebut kontra produktif dengan herd imunity yang ingin dicapai?

Jika kita mengikuti pemberitaan-pemberitaan yang beredar di awal-awal pandemi covid-19 ini, kita dapat melihat, bahwa pada waktu itu  masyarakat justru mendamba-dambakan agar secepatnya ditemukan vaksin. Namun seiring waktu berjalan, mulailah muncul berbagai isu, hoaks, hingga teori konspirasi yang memunculkan keraguan di masyarakat. Bahkan pada akhirnya, tidak sedikit masyarakat meyakini kebenaran isu, hoaks, atau teori konspirasi yang beredar tersebut.

Karena itu, pendekatan sanksi bulan pendekatan yang tepat untuk mengatasi masalah penolakan vaksin ini. Keyakinan salah yang terlanjur melekat dalam pikiran masyarakat tentang vaksin ini, perlu diganti dengan keyakinan baru yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Caranya? Sajikan data dan fakta seterang-terangnya pada masyarakat. Cari orang yang dapat diterima oleh kalangan penolak vaksin ini, untuk menyampaikan data dan fakta tersebut.

Saya pikir tidak terlalu sulit untuk mencari orang-orang tersebut. Bisa saja dari kalangan ilmuwan, dokter, tokoh politik, tokoh agama, dan lain-lain. Dengan memunculkan kepercayaan, maka akan lebih mudah untuk mengajak masyarakat agar bersedia mengikuti program vaksinasi tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline