Lihat ke Halaman Asli

Hening di Antara Cambuk dan Rotan

Diperbarui: 21 Juli 2015   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

            Santri, begitulah nama yang dilekatkan lingkunganku padaku. Tak tahu kenapa nama itu melekat pada diriku dan seakan menjadi nama yang mulia diwaktu itu. Hening, malam pertama di tempat ini pun begitu hening tapi tidak ada satu pun yang sanggup menjelaskan kenapa aku dipanggil santri. Meski penuh tanda tanya aku hanya mencoba memejamkan mata dan berharap dimimpiku nantinya semua ini akan terjawab.

            Sayup-sayup ku dengar suara yang keras dan menggelegar, suara yang memecahkan gendang telinga tapi bukan suara manusia. Lalu suara apa? Dan untuk apa?  Apa mungkin ku sekarang sedang bermimpi? Tapi aku rasa tidak. Karena semua terlihat dengan jelas, sangat jelas. Tapi yang pasti, suara itu membangunkanku. Ku melihat sesosok manusia bersarung dan memakai kopyah dengan rotan ditangannya tiba-tiba berkata,” Bangun…Santri baru sudah malas!.” Satu pukulan mendarat telak dipunggungku.

            Setelah ini yang aku rasakan hanya hening dan kelam. Semua orang yang disebut santri mulai berbondong-bondong mengambil air wudhu dan pergi ke masjid. Aku bisa merasakan ketentraman saat pertama menginjakan kaki ditempat yag disebut masjid ini, hal yang sering dilakukan teman-teman di desaku disaat subuh tuk pergi ke masjid dan mengaji. Apakah ini yang namanya santri? Apakah orang-orang didesaku juga seharusnya disebut santri? Mungkin seharusnya begitu.

            Denyut nadi dan aliran darah ini mulai bergairah menyambut status baru sebagai santri, yang diiringi alunan lembut suara seseorang yang sedang berceramah di depan, seseorang yang disebut kyai.

            Hari kembali gelap. Sebagian orang belajar dengan sungguh-sungguh dan sebagian yang lainnya bergurau santai. Tapi yang jelas tempat ini masih begitu hening dan penuh dengan kedamaian. Mungkin apa yang disebut santri adalah keheningan. Hening dari segala dosa, hening dari segala hal yang katanya dibenci oleh Tuhan. Dan keheningan menimbulkan kedamaian sebagai mana kitab yang dianggap suci ini begitu damai dan mendamaikan saat membacanya. Begitu damai dan mendamaikan saat mendengarnya.

            Malam ini kembali hening, sangat hening. Mata ini tak sanggup lagi untuk tetap terjaga. Tapi, rasa takut mulai menyelimuti jiwa ini. Aku takut jika tertidur, sesosok orang pembawa rotan akan datang lagi, aku takut sesosok orang pembawa rotan akan memukul raga ini lagi. Tiba-tiba suara itu muncul lagi. Suara yang sangat keras. Aku terpana, ini suara yang kemaren pagi aku dengar. Kenapa malam ini dia datang lagi?. Bukankah datangnya diwaktu subuh?. Mungkin tidak, dia datang ketika hari gelap.

            Laki-laki itu kemudian berlalu, menutup pintu, namun dengan suara keras berkata. “tidur..tidur..!”

            Hari ini hari jumat, hari dimana sebagian santri, termasuk aku memasuki ruang-ruang kebahagiaan karna dapat bertemu dengan seorang ibu dan keluarga. Tapi hari ini juga menjadi hari yang tidak pernah aku pahami. Kenapa setelah seseorang Kyai itu pergi. Seseorang pembawa rotan itu menggantikannya didepan.? Parahnya dia tidak sendirian. Sesosok orang pembawa cambuk juga berdiri didepannya. Suasana tiba-tiba hening. Keheningan yang ku rasakan dimalam-malam sebelumnya.

            Tiba-tiba suara rintihan manusia terdengar lirih. “ah…….,” suara yang sangat keras disertai suara cambukan dan rotan yang silih berganti memecah keheningan pada siang hari itu.

            Dalam hati ku mulai bertanya-tanya. Tempat apakah ini? Kenapa cambuk dan rotan begitu mendominasi dalam setiap sendi-sendi kehidupan di tempat ini? Bukankah kita santri? tapi kenapa situasi disini begitu menegangkan? di tengah lamunanku tiba-tiba ada yang merenggutku dengan keras, jantung berdetak kencang dan aku ketakutan. Seseorang yang mencengkram badanku itu tiba-tiba berkata,”An..kamu dipanggil kedepan,” panas dingin keluar dari sekujur tubuhku.  Didepan, seseorang dengan rotan dan cambuk sedang menunggu dengan tatapan kasar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline