Oleh Anung Anindita
Bulan April selalu mengajak setiap insan untuk mengingat sosok perempuan dengan segala jasanya untuk kuatnya perempuan, R.A. Kartini. Tidak heran banyak karya sastra lahir dan terinspirasi oleh kisah perjuangannya. Salah satunya adalah film dengan director Azhar Kinoi Lubis dan writer Toha Essa yang berjudul "Surat untuk Kartini". Meskipun sebagian besar kisah yang disuguhkan adalah tentang Kartini, sudut pandang yang dari seorang postman menjadikan film ini berbeda dan menarik untuk disaksikan.
Dalam film ini diceritakan seorang pengantar surat bernama Sarwadi yang diperankan oleh Chicco Jerikho yang hidup bersama putri cantik satu-satunya, Ningrum. Mereka hidup sebagaimana kehidupan masyarakat Jawa tahun 1901.
Sarwadi yang kuat memegang peran ayah yang mengayomi putri kecilnya dan Ningsih dengan segala kesibukannya di dapur menggantikan peran ibu yang tidak pernah ia pelajari, bahkan saat pertama kali membuka mata di dunia.
Kisah mereka hangat dalam kesederhanaan. Hingga akhirnya, perjalanan si pengantar surat sampai di rumah seorang Bupati Jepara. Di sanalah, pertahanan cintanya jatuh pada seorang gadis bernama Kartini.
Perasaan yang dibawa Sarwadi ditampar keras oleh Mujur, sahabatnya, dengan alasan realita bahkan tidak akan mengamini. Namun, Sarwadi tidak lantas langsung redup memperjuangkan cinta beda kastanya itu. Seiring bergantinya hari, Sarwadi semakin terinspirasi oleh gadis yang dicap masyarakat di sana sebagai gadis aneh.
Sarwadi pun memberanikan diri bertatap muka dengan Kartini dan mengutarakan inginnya agar kelak Ningrum bisa pandai seperti Kartini. Tanpa ragu, Kartini pun mengiyakan diri mengajari Ningrum dan teman-teman Ningrum belajar. Tekad kuatnya tentang perempuan dan kesetaraan mendorongnya melakukan sesuatu meski kecil sekalipun.
Hari pertama belajar dengan Kartini, Ningrum hanya datang seorang diri. Ia pun lugu berceloteh ihwal teman-temannya tidak bersamanya. "Orang tua mereka takut jika anak-anak mereka seperti Kartini karena terlampau pintar jadi sulit jodohnya.
" Pernyataan ini tentunya masih sering dijumpai pada masa sekarang. Banyak orang yang merasa gelisah apabila anak perempuannya maju untuk pendidikannya, banyak masyarakat dengan segala pandangan negatif yang selalu ditempelkan, baik untuk perempuan yang berkarier maupun perempuan yang menjadi ibu rumah tangga.
Seakan, masyarakat dengan segala komentarnya menginginkan peran perempuan yang begitu sempurna. Jika ada perempuan yang bekerja padahal bersuami, ia dilabeli "istri yang tidak becus mengurus keluarga". Jika ada perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga walaupun memiliki riwayat pendidikan tinggi, ia juga dikomentari "percuma sarjana kalau di rumah aja."