"Kenapa sih ngotot banget dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?"
"Kenapa sih lebay banget nolak RUU Ketahanan Keluarga?"
Sejatinya, ngotot dan lebay benar-benar dibutuhkan. Bagaimana tidak? Sepanjang tahun 2019, menurut data Komnas Perempuan terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Jumlah ini melonjat jauh dari tahun sebelumnya dan tahun sebelumnya. Artinya, perempuan sejatinya sangat rentan terhadap kekerasan seksual.
Namun, yang didapat justru aturan-aturan hiburan yang menggelitik tawa, seperti imbauan tentang kamar tidur, cara bercinta, perzinaan, UU ITE, cuti bekerja, sampai hak-hak sebagai istri yang selayaknya dipenuhi.
Hal ini sama seperti adanya aturan tentang "sekolah zonasi", antara permasalahan dan solusi hubungannya sangat jauh. Alih-alih melindungi perempuan dan memuliakannya, justru mengglorifikasi peran penting laki-laki.
Ingatkah salah satu pernyataan yang menentang ihwal RUU PKS, yakni seorang istri tidak bisa melaporkan suaminya atas tuduhan perkosaan.
Dengan asumsi dasar agama, banyak orang, khususnya perempuan, justru mengiyakan pernyataan tentangan tersebut. Dengan dalih, sudah seharusnya istri melayani suami, bla bla.
Padahal, agama sebenarnya tidak perlu dibela karena hadirnya agama sudah menguatkan orang-orang di dalamnya. Dalam hal ini, baik istri maupun suami, dapat melaporkan ketika menerima perbuatan tidak menyenangkan atas tubuhnya.
Namun, fenomena saat ini, banyak yang menyebut bahwa orang-orang yang membenci patriarki juga membenci laki-laki. Hal tersebut tentu saja tidak benar.
Laki-laki tidak perlu khawatir dengan label "patriarki" jika memang itu bukan prinsipnya. Tidak perlu menyampaikan keras bahwa "tidak semua laki-laki mendukung patriarki", yes we know.