Masih ingatkah film penuh pro-kontra bahkan sebelum penayangannya di bioskop? Yup, Dua Garis Biru, film yang dirilis pada 11 Juli 2019 lalu, mendapat tuduhan-tuduhan tentang dampak dan isi film yang dilabel "buruk". Boleh kiranya melontarkan kritik terhadap sesuatu hal, tetapi atas dasar kelogisan alasan.
Nah, kalau melemparkan tuduhan padahal ditayangkan saja belum, kiranya bukanlah tindakan yang tepat. Dari film ini, ada tiga hal yang perlu mendapatkan garis bawah: pendidikan seks, peran keluarga, dan komentar masyarakat. Ketiganya ditampilkan dalam film ini secara tersirat, tetapi mudah terbaca.
1. Pendidikan Seks
Saat ini, Pemerintah sedang gencar melakukan "blurring" terhadap apa pun yang berbau seks, mulai dari acara televisi sampai bioskop. Bahkan, dalam RKUHP Pasal 481 dan 483 terlihat jelas bahwa tindakan seperti penyuluhan tentang seks cenderung terbatasi. Pelarangan-pelarangan tanpa alasan yang jelas seperti ini justru akan menimbulkan stigma bahwa pembicaraan tentang seks adalah hal yang tabu. Dampaknya, orang akan dicap cabul jika berdiskusi tentang seks atau masih ada yang memercayai bahwa berenang bersama lawan jenis bisa menghasilkan janin. Contohnya dalam film Dua Garis Biru ini,
Bima dan Dara tidak mendapatkan informasi tentang bahaya kehamilan usia dini karena pelajaran di sekolah hanya berfokus pada reproduksi tanpa meyentuh esensi realita kehidupan atau Bima yang tidak mengetahui fungsi kondom atau cara membaca test pack. Dewasa ini, anak-anak tidak lagi perlu ditutup matanya lalu diarahkan ke kanan atau kiri. Mereka perlu membuka mata dan mengetahui arah kanan atau kiri. Sama halnya waktu yang tidak bisa ditahan, begitu pula teknologi dan kemajuannya, maka mereka perlu pengetahuan, kelogisan berpikir supaya tidak salah melangkah. Namun, bagaimana mungkin bisa memahami jika akses menuju "tahu" saja dibatasi?
2. Peran Keluarga
Dalam film Dua Garis Biru terlihat bahwa peran keluarga menjadi sangat penting, terlebih dalam memberikan dukungan saat masalah datang. Awalnya, keluarga Dara tidak bisa menerima kenyataan bahwa anak perempuan sulungnya hamil di luar nikah. Lalu, kehadiran keluarga Bima yang walaupun berat hati menerima keadaan Dara, hingga kedua keluarga ini perlahan menguatkan Dara dan Bima. Sama halnya seperti musibah, terkadang hadirnya tidak disangka dan menerpa siapa saja tanpa rencana, itu pun terjadi kepada Dara dan Bima.
Hadirnya janin dalam perut Dara seolah menampar kehadiran keluarga yang seharusnya terbuka dengan diskusi, ramai dengan percakapan, riuh dalam harmonis. Seolah kedua orang tua, baik Dara maupun Bima, tidak bisa lagi menyalahkan dosa kepada mereka berdua karena menjadi orang tua adalah tanggung jawab seumur hidup maka hal terbaik yang bisa dilakukan orang tua mereka adalah menjaga keduanya, Dara dan Bima.
Dari sini, kiranya terbaca bahwa ihwal yang ingin disampaikan dalam Dua Garis Biru adalah keluarga sebagai rumah tempat meleburkan tangis, menyederhanakan permasalahan, menguatkan tanggung jawab, dan menghangatkan keadaan. Selayaknya, keluarga tidak hanya mendikte tentang banyak hal, tetapi juga mampu mendengarkan berbagai masukan.
3. Komentar Masyarakat
Dalam Dua Garis Biru diperlihatkan perlakuan berbeda dialami Dara dan Bima dalam kehidupan sosialnya, penjauhan. Manusia sebagai makhluk sosial berarti saling membutuhkan orang lain. Namun, pernyataan itu tidak bisa dimaknai bahwa setiap orang berhak mencampuri urusan orang lain. Misalnya, pembiaran terhadap tindakan KDRT yang dialami tetangga sebelah rumah dan pemberian cemoohan kepada seorang perempuan yang hamil di luar nikah.