Oleh: Anung Anindita
"Ya kalau memang berbeda, bagaimana bisa diperlakukan sama?"
"Namanya cacat, ya tidak bisa jadi sempurna."
Tidak bisa ditampik bahwa pandangan orang-orang terhadap sesamanya yang memiliki kemampuan berbeda, disabel, seperti halnya dua pernyataan di atas masih cukup populer di masyarakat. Berusaha untuk memandang "biasa saja" sepertinya masih cukup jauh dari kata mudah. Pemberian sekat-sekat yang mempersempit ruang pandang dan gerak justru mempersulit kaum disabel tidak merasa takut untuk berbaur. Selain itu, kaum disabel juga akan merasa takut menyadari perbedaan yang ia miliki. Takut tidak diterima, takut berbeda.
Lantas, apakah kita seharusnya menjadi kasihan? Memandang kaum difabel dengan cucuran air mata yang membabi buta? Tidak! Kiranya, teriakan "kamu pasti bisa" jauh jauh jauh lebih baik. Karena sebenarnya, bukan iba atau rasa terus bergantung atau uang yang dibutuhkan, melainkan kesempatan. Hal inilah yang sedang diperjuangkan oleh perempuan kebanggaan Indonesia, Angkie Yudistia.
Tersorot lebih terang dengan tugas yang baru diembannya sebagai staf khusus Presiden, Angkie Yudistia tidak gentar menyuarakan kesamaan hak oleh kaum difabel. Terpilihnya Angkie sebagai salah satu orang berpengaruh di Istana menjadi angin segar yang seolah membisikkan bahwa orang difabel punya peluang sama, hak sama, perlakuan sama yang tidak hanya tertulis rapi dalam jejeran pasal-pasal. Tentu saja langkah Angkie hingga sampai di Istana bukan karena ia memenangi lotre keberuntungan hidup semata, melainkan oleh sebab ia mencari dan mengejar peluang yang seringkali tidak menoleh ke arahnya.
Angkie Yudistia diberikan ujian oleh Tuhan saat berumur sepuluh tahun. Sejak saat itu, kemampuannya "mendengar" seketika hilang. Bagaimana anak berusia sepuluh tahun memaknai cobaan adalah anugerah Tuhan yang memiliki nilai? Tentu saja sulit. Di sini, peran ibu atas hidup Angkie sangatlah besar. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang mendukung dan mengarahkan kekurangan, menyadarkan bahwa keterbatasannya bukan menjadi pembatas dirinya untuk berlaku seperti orang-orang lainnya. Dukungan penuh dan cinta kasih keluarga mampu membentengi Angkie menghadapi perundungan yang tidak bisa ia singkirkan dari pergaulan. Pernah suatu ketika, dalam wawancara di televisi, Angkie menuturkan bahwa dirinya pernah merasa sendirian karena berbeda. Ia merasa lingkungan luar terbiasa hidup dengan sempurna sehingga apabila ada kaum minoritas, difabel, ada di sekeliling, mereka akan merundung, mencemooh. Bisa dibayangkan apabila ini dirasakan oleh seluruh kaum disabilitas, terlebih jika di lingkungan keluarga saja tidak memberikan dukungan atau kepedulian. Masih haruskah mereka dibedakan (?)
Tumbuh menjadi perempuan penyandang tunarungu, Angkie memercayai satu hal yang ia lekatkan dalam prinsip hidupnya. "Bahwa Tuhan memberikan cobaan (tidak bisa mendengar) pasti punya maksud lain dan maksud itu harus dicari karena jawabannya yang tidak bisa ditemukan saat itu juga." Kumpulan frasa itulah yang menjadi pijakan hingga Angkie terus melangkah maju. Keterbatasan pendengaran bukan penghalang dirinya untuk terus mengecap rasa pendidikan, bahkan hingga S-2 di jurusan komunikasi, jurusan yang kontardiktif dengan keterbatasannya. Namun, ia yakin bahwa dalam hidup, seseorang tidak bisa terus menuntut untuk dimengerti, tetapi orang itu juga harus memahami. Oleh karena itu, keterbatasannya yang diklaim banyak orang menghalanginya untuk berkomunikasi menjadi alasan pembuktian bahwa orang difabel bisa melakukan banyak hal, bahkan yang diklaim "tidak mungkin".
Berpegang pada impian menjadi wanita karier, Angkie terus bersemangat menempuh pendidikan dan mengeksplor bakat yang dimilikinya. Meski bergantung pada alat yang terus terlekat erat di kedua telinganya, Angkie berhasil mendulang prestasi. Ia pernah menjadi finalis Abang None mewakili Jakarta Barat, juga pernah mendapat predikat sebagai The Most Fearless Female Cosmopolitan pada tahun 2008.
Setelah liku terjal yang ia alami dari kecil, hingga bangkit dan lulus dari pendidikannya, Angkie masih harus menelan pahit. Mendapat pekerjaan merupakan hal sulit yang harus diterima Angkie saat itu. Pemecatan pun pernah ia alami. Akan tetapi, kegagalan mencari pekerjaan malah menjadi penggagas dirinya untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Bermodal kepedulian tulus Angkie kepada teman-teman yang memiliki keterbatasan seperti dirinya, Angkie membangun Thisable Enterprise, perusahaan sosial yang meng-empower with people disability. Saat ini, perusahaan tersebut mempunyai data bahwa ada 4.800 orang yang sudah terverivikasi dan di-training dan placement setiap hari. Melalui Thisable Enterprise, Angkie melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan yang memercayainya dan menerima pegawai-pegawai yang sudah dilatih oleh Thisable Enterprise, salah satunya Gojek Indonesia. Bahkan, salah satu pegawai Go-Massage tunanetra dari Thisable Enterprise mendapat penghargaan yang langsung diberikan oleh Presiden atas tinggginya rating pelanggan. Dari Thisable Enterprise, Angkie berbahagia karena mereka yang mendapat pelatihan akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan, hidup dengan usahanya sendiri, tidak terus bergantung, dan berpenghasilan. Dengan begitu, mereka tidak lagi takut untuk hidup berdampingan dengan masyarakat, tidak merasa berkecil hati karena berbeda, dan berjalan kepala terangkat.