Lihat ke Halaman Asli

Mari Bersahabat dengan Bencana

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia rawan bencana, mari kita siaga

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Indonesia rawan bencana, mari kita siaga"] [/caption]

Akhir-akhir ini sering kita mendengar telah terjadinya bencana Gempa dan Tsunami. Apalagi kita semua tinggal di Indonesia dimana terletak dalam zona “ring of fire“. Seharusnya sebagai negara yang mempunyai potensi bencana gempa dan tsunami yang tinggi kita perlu sekali mengetahui bagaimana bencana itu bisa terjadi dan bagaimana cara mitigasi yang baik dan benar. Beberapa instansi seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), ESDM, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan BMKG, dari tingkat pusat hingga daerah pun terkadang sudah gencar mensosialisasikan tentang tanggap bencana maupun mitigasi bencana. Namun terkadang yang menjadi permasalahan adalah terkendala oleh tidak sampainya informasi tersebut ke masyarakat luas. Hal ini bisa disebabkan karena :

  • Bahasa yang digunakan kurang dipahami

Biasanya faktor utamanya, tidak sampainya informasi mengenai siaga bencana, mitigasi bencana adalah bahasa. Bahasa disini yang dimaksudkan bukan dalam artian penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Mungkin memang juga terkait dengan hal tersebut, tetapi yang dimaksudkan disini adalah bahasa yang universal, bukan bahasa ilmiah atau bahasa asing yang tidak lazim. Karena beberapa yang dialami adalah beberapa peneliti atau pakar, tidak melakukan translasi / terjemahan dalam menyampaikan informasi tersebut. Sehingga efek yang ditimbulkan bukan edukasi tetapi  justru kekhawatiran masyarakat.

  • Tidak ada sosialisasi tingkat RT/RW

Terkadang para pemangku kepentingan atau siapapun menyampaikan hanya ke beberapa perwakilan. Hal ini bukan karena apa-apa, tetapi melainkan karena keterbatasan waktu dan tempat sehingga tidak bisa menyampaikan langsung ke seluruh lapisan masyarakat. Harapannya si penerima informasi menyampaikan ke seluruh lapisan masyarakat, namun kenyataannya nihil.

Belajar dari bencana Jepang

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa telah terjadi bencana gempa dan tsunami di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 yang lalu. Bencana yang diawali dengan gempa pada tanggal 9 Maret 2011 dengan kekuatan 7.2 SR, dan hingga akhirnya terjadi gempa susulan yang dahsyat pada tanggal 11 Maret 2011 dengan  kekuatan 8,9 SR yang menyebabkan gelombang Tsunami yang meluluhlantakan kota Tokyo dan sekitarnya serta dampaknya dirasakan hingga Indonesia walaupun sangat kecil. Namun apa yang bisa kita ambil pelajaran dari bencana tersebut adalah :

1. Jepang telah menggunakan “early warning system“, sehingga mampu meminimalisir korban bencana yang ada. Dengan melihat dahsyatnya bencana yang terjadi, sangat minim memakan korban. Apa jadinya jika Jepang tidak menggunakan sistem tersebut.

2. Jepang telah melakukan sosialisasi tentang tanggap bencana dan mitigasinya ke seluruh lapisan masyarakat bahkan ke sekolah-sekolah Taman kanak-kanak sekalipun. Sehingga ketika terjadi bencana, anak kecil seumuran 4-5 tahun pun bisa melakukan apa yang telah mereka peroleh dari sosialisasi di sekolahnya.

Akankah Indonesia bisa mengadopsi cara-cara yang dilakukan negara Jepang tersebut dalam menghadapi bencana?

Belajar dari hal-hal diatas, setelah beberapa tulisan juga mengenai gempa, tsunami dan contoh bencana yang baru-baru terjadi di Jepang, melalui tulisan ini, instansi tempat saya bekerja dalam Program Community Preparedness (Compress) akan mencoba mengemas sosialisasi bencana dengan bahasa yang mudah dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline