Lihat ke Halaman Asli

Jangan Sebut Afriyani Pembunuh dengan Cara yang Nista

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bukan pembunuh



bukan pembunuh

Judul diatas bukanlah ungkapan dukungan saya terhadap pelaku tabrak bertuntun yang membuat Jakarta dan Indonesia gempar itu. Tapi saya hanya berusaha menjabarkan sudut pandang lain yang mungkin letak sudut pandang ini tak terjamah oleh masyarakat. Oke, semua forum mulai dari forum di social network hingga forum bebas di tiap situs portal berita sama-sama menyuarakan kemurkaan kepada sang pelaku. Mulai dari kata “bunuh”, “bajingan”, “hukum mati” menggaung dimana-mana.

Sang pelaku saat ini seakan-akan posisinya sudah setara dengan pembunuh berantai ataupun assassin sang pembunuh berotak. Saya jamin bila kita menanyakan perihal Afriyani kepada orang yang melintas dijalan pasti yang keluar adalah hujatan, konotasi busuk hingga letupan emosi yang berlebihan.

Tapi sadarkah kita bahwa dari setiap permasalahan yang ada pasti memiliki banyak sudut pandang, ibaratnya satu masalah itu sebenarnya memiliki 1000 perspektif yang bisa diakomodir menjadi sebuah epistemologi, namun sayang dari 1000 perspektif tersebut hanya satu perspektif yang dipakai oleh masyarakat Dan sialnya satu perspektif itulah yang biasa dijadikan sebuah fakta.

Kembali pada kasus diatas. Jadi sikap dan kemurkaan kita kepada Afriyani malah semakin membuktikan bahwa kita bukanlah seorang Pancasilais. Kovesional memang, namun Pancasila tak bisa dibantah lagi bahwa ideologi tersebut adalah syarat mutlak bagi negara ini untuk benar-benar menjadi Indonesia yang sebenarnya. Mengapa saya memiliki statement seperti itu, oke sepertinya kita perlu mengupas beberapa butir-butir Pancasila agar lebih jelas. Untuk kasus ini coba kita tengok ruang sila kedua yang sepertinya telah kotor dengan sarang laba-laba, ups, maaf kalau rahasia terbongkar, hehehe. Oke, sila kedua menuangkan kalimat berupa “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” ingat, ADIL dan BERADAB, sudah jelas, keterlaluan bila belum jelas.

Kalau untuk yang “adil” mungkin tanpa perlu saya jabarkan panjang lebar kita semua pun sudah tahu gimana sistem hukum di negara ini walaupun sekilas. Mungkin yang lebih urgent saat ini untuk sedikit diulas adalah kata “beradab”. Beradab berarti memiliki jiwa yang menunjung etika, nilai kesopanan, dan karakter pemikir yang tinggi. Nah, berbagai opini yang terlontar terhadap si Afriyani ini sepertinya bukanlah sebuah sikap yang bisa dikatakan beradab. Maaf-maaf saja. Bukan saya yang menyatakan, tapi sikap masyarakat yang membentuk statement itu sendiri.

Ribuan opini yang tertuang dalam kasus Afriyani ini sepertinya hanya berasal dari satu perspektif yang telah saya sebutkan tadi, padahal sejatinya masih ada 999 atau 800 perspektif yang bisa digunakan. Dan jelas-jelas lontaran yang dilempar masyarakat tidak menunjukkan landasan ideologi Pancasila yang mengacu pada masyarakat yang memiliki andap asor, adab hidup yang baik.Semua menyebut Afriyani sebagai pembunuh. Padahal pembunuh sendiri merupakan kata sifat yang memiliki makna sengaja untuk membunuh, seseorang yang yang memiliki rancangan kejam dan niat nawaitu membunuh.

Sedangkan si Afriyani ini meskipun dia jelas-jelas salah karena mengendarai mobil dalam kondisi “fly”namun dia tidak ada hasrat dan berkeinginan untuk membantu malaikat Izrail dalam menghabisi nyawa orang lain. Adalah ketidak sadaran yang menyebabkan dia begitu beringas menghajar pejalan kaki dan orang di area halte hingga terkapar dalam kengerian. Mana mungkin orang ini sengaja membunuh 9 orang yang tak dikenalnya dengan Xenianya itu. Apalagi sengaja merusak Xenia milik temannya, apa nggak bingung menggantinya nanti.

Opini yang dilempar masyarakat yang ala kadarnya semakin membuat mereka Nampak malas berpikir, malas menganalisa dan membangun sudut pandang lain. Kritik dan menghujat boleh-boleh saja, asalkan dengan format yang elegan dan bersifat analisis.

Lalu yang kedua adalah sila ke lima yang didalamnya terangkai butir “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Nah keadilan yang ditambahi dengan kata “sosial” dibelakangnya secara tak langsung menjadi pembeda keadilan ini dengan keadilan dalam hukum negara. Dan dimanakah keadilan sosial bagi si pelaku. Mengapa pelaku yang “tidak sengaja” dan “tidak sadar” membuat 9 orang meninggal harus disejajarkan dengan psikopat, jagal manusia, bahkan asassain yang saya sebutkan tadi. Sekali lagi ini bukan propaganda dukungan pada Afriyani, apanya yang didukung, dan saya pun bukan pacarnya Afriyani, apalagi keponakannya.

Nah, mengapa pula kita menyebut Afriyani ini sebagai perempuan tak punya hati yang tak punya perasaaan saat membunuh 9 orang. Karena ketika seusai menabrak perempuan tambun ini memiliki air muka yang datar tanpa penyesalan? Nah, kita semua pun tahu bahwa wanita ini dibawah pengaruh ekstasi, sabu, minuman keras apapunlah itu ketika menabrak. Ya jelas saja dia nggak bereskpresi karena saat itu dia masih merasa mimpi setengah tidur dan bersensasi ‘serasa” menabrak belasan orang yang 9 diantaranya meninggal. Jadi bukan karena dia nggak punya hati, tapi karena dia pas itu nggak sadar, titik.

Hingga akhirnya opini masyarakat menggiring peradilan untuk mencap si Afriyani dengan pasal pembunuhan (akhirnya). Padahal secara logis perbuatan itu bukanlah suatu pembunuhan, tetapi lebih mengarah kepada kelalaian tanpa niat yang menyebabkan kematian. Banyak kasus kelalaian seperti ini, seperti polisi yang lalai menjaga senjat alaras panjangnya hingga membuat tewas seorang anak kecil yang hendak menjenguk bapaknya di tahanan, atau kelalaian anak saat bermain petasan yang membuat kawannya meninggal.

   Ya, kita boleh-boleh saja, halal, bahkan wajib untuk menyuarakan opini. Wong, negara iin negara dmokrasi, tapi ya begitu, kita harus bertanggung jawab penuh akan kebebasan yang kita lakukan. Menghujat boleh, namun alangka hdamainya bila disertai dengan analisis dan kebijaksanaan sikap.


Ya, itulah mungkin salah satu perspektif yang berbeda yang bisa saya paparkan. Sekali lagi saya tak mengenal Afriyani dan saya bukan pacarnya. Jadi ini untuk membuka pintu perspektif lain yang mungkinbisa membuat kita lebih bijak dalam menilai sesuatu. Tapi saya tetap berbela sungkawa atas musibah ini, jangan sampai ada Afriyani-Afriyani lain, cukup Afriyani yang tambun ini saja, amien!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline