Oleh : ANUGERAH OETSMAN
Awal bulan Agustus, kota Tana Beru cerah gerah. Sepertinya di bulan inilah puncak musim kemarau, saban hari jika hari sudah siang sejak akhir bulan Juli lalu matahari tak penah berhenti mengumbar panasnya. Pohon-pohon meranggas tak kuasa membendung sinar dan tatkala angin berhembus maka serentak daun-daun kering yang masih tersisa akan berguguran melayang bersama debu jalanan. Burung-burungpun enggan lagi membuat sarang di dahannya apalagi untuk sekedar hinggap mematuk buah yang memang tak ada. Pohon hijau yang masih kelihatan hanyalah deretan pohon kelapa yang tubuh di sepanjang pesisir pantai Tana Beru tidak jauh dari belakang sekolahku. SMP Negeri Bontobahari. Aku berjalan mengiring langkah guru bahasa, Pak Bahar namanya. Sabtu pagi ini masih menunjukkan pukul 10.00, waktunya bermain istrahat jam pelajaran kedua, tapi aku tidak bermain seperti biasa atau sekedar ke kantin untuk makan kue atau mi siram di sana. Pak Bahar akan memberi latihan baca puisi dan hari ini akan diajar bagaimana olah tubuh, bagaimana berekspresi melalui mimik kesan tubuh, dan tempatnya masih sama di tepian pantai Tana Beru. Aku ditunjuk mewakili sekolahku untuk tampil pada acara lomba baca puisi tingkat SMP di kota Kabupaten Bulukumba pada perayaan tujuh belasan nanti. Sebenarnya ini adalah hari ketiga aku berlatih, dua hari kemarin aku dilatih olah vokal. Kenapa harus di tepi pantai? Aku tak tahu apa alasan Pak Bahar, kemarin sebelum membaca bait-bait puisi, aku malah disuruh teriak dan berbicara keras-keras mendikte ucapannya sambil menghadap ke laut seolah berdialog dengan deburan ombak. Kemarin aku berlatih dan serius mengikuti setiap petunjuk dari Pak Bahar, belajar artikulasi dan penekanan kata, dan banyak lagi trik-trik baca puisi yang baik, saking seriusnya hawa pantai yang panas seperti tak terasa lagi. Tidak lama berjalan aku dan Pak Bahar sudah tiba di tempat di mana aku berlatih kemarin. Hari ini, entah mengapa slalu saja ada kesalahan yang aku buat sampai-sampai Pak Bahar sering menegurku. "Anang, bukan begitu!" "Anang... ekspresinya, mana?" "Kamu salah lagi, Nang..." Dan kesalahan yang berulang-ulang itu membuat latihannya dihentikan. "Baiklah, Nang. Latihannya cukup saja dulu, sepertinya kamu kurang sehat, atau mungkin kamu kelelahan berpanas-panasan dua hari yah?" Pak Bahar dengan suaranya yang lembut tak ada ekspresi kesal atau marah yang diperlihatkan. "Iya, Pak, aku memang kurang fit hari ini" Ujarku mengiyakan kesimpulan Pak Bahar barusan. Kami kembali ke sekolah, Pak Bahar ke ruang guru dan aku menuju kelasku mengikuti pelajaran terakhir dengan konsentrasi yang boleh dikata buyar, tak ada semangat belajar. Apa yang aku alami tidak aku mengerti. Sampai akhirnya dentang bel pulang berbunyi. "Teng... teng... teng..." Sesaat setelah bel berbunyi dan setelah berucap salam dengan guru kami para siswa keluar teratur meninggalkan kelas. Pulang. Aku berjalan tergesa-gesa menyusuri pesisir pantai, jalan yang harus kulewati untuk sampai ke tempat menunggu angkutan, jauh juga sekira 500 m. Tapi itu sudah biasa bagi kami anak yang tinggal di kampung dan sekolah di kota ini. Aku tak menunggu teman-temanku yang biasanya jalan bersama-sama. Aku hanya ingin tiba secepatnya di rumah. Kulewati rumah-rumah panggung penduduk yang memadati pesisir, melewati tempat pembuatan perahu Pinisi yang terkenal sebagai kawasan wisata di Tana Beru itu, belok kanan memasuki sebuah gang kecil, berjalan lurus di samping Masjid Raya Tana Beru dan akhirnya aku tiba juga di perempatan ini di Tugu Perahu pinisi, lambang khas Bulukumba, tempat aku biasa menunggu mobil angkutan desa menuju kampungku.
oOo
Satu persatu bayangan kedua orang tuaku muncul. Sosok seorang Bapak yang begitu aku segani dengan temperamen wajah yang memperlihatkan keteguhan hatinya. Dia yang kini jauh mengabdi demi sebuah tugas di Pulau Seberang, namun tetap terpatri dalam jiwaku, akan setiap laku dan petuah bijaknya. Membuatku tak ada lagi pilihan yang lain, kecuali menjadikannya sebagai seorang laki-laki yang pantas aku banggakan dan teladani. Meskipun pertemuan keluarga kami hanya berlangsung sekali atau dua kali setahun, namun lewat curahan cinta kasih dan limpahan tanggung jawab yang diberikan kepada Ummi (begitulah aku memanggil ibuku), aku dan kedua adikku dibesarkan dan dididik. Kendati tempat Bapak dan kami terpisah jauh, Bapak tinggal di kota Benteng Kabupaten Selayar, sebuah kabupaten kepulauan yang berada persis tepat di "kaki" Pulau Sulawesi tempat di mana kami anak dan istrinya bermukim, namun tiap kehadirannya pada saat-saat liburan sekolah sudahlah cukup mengobati rasa rindu kami. Begitulah kehidupan keluargaku, sepanjang tahun hari-hariku terlewat dengan didikan dan asuhan Ummiku. Terkadang dalam hati kecilku terbersit juga keinginan untuk dapat hidup bersama dalam sebuah keluarga yang utuh. Kini 15 tahun sudah Ummi membesarkanku. Dia begitu sayang terhadapku, pun begitu kepada kedua adikku, tapi tidak seperti kebanyakan anak yang lain, kami tak dimanjakan. Sebagai anak yang tertua aku yang merasa paling dekat dengan Ummi, tapi entahlah bagaimana perasaan kedua adikku, mungkin mereka beranggapan sama dengan aku. Aku melalui hari-hariku dengan bahagia, itu juga lantaran Ummi orangnya periang, segala kesibukan dikerjakannya dengan perasaan senang. Sedikitpun tak pernah nampak raut kesusahan di wajahnya, apalagi bersedih Ummi seperti tak pernah mengenalnya. Di bibirnya yang nampak hanyalah senyum dan tawa. "dipercepat naiknya, Bu!" sejenak aku tersentak dari lamunanku, mendengar teriakan Bapak supir dan semakin tersadar ketika tubuh besar itu dihempaskan begitu saja di dekatku. Sekarang posisi dudukku semakin terjepit, dan boleh dikata aku setengah memangku ibu ini. Dalam hati aku jadi tersenyum, sebab selintas teringat kembali dengan ummiku yang juga bertubuh besar dan membayangkan seolah dia sekarang yang ada di sampingku. Tetapi, akupun tak dapat menyembunyikan rasa dongkolku yang aku ekspresikan dengan muka cemberut menyaksikan ulah si supir yang seolah tak mau tahu dengan keadaan, padahal sebenarnya dia tahu kalau penumpangnya sudah melebihi kapasitas namun tetap saja diisi dengan muatan baru. Tapi yah... kita penumpang hanya bisa diam dan menjadikan cemberut itu sebagai konsumsi sehari-hari, mengomel atau marah-marah sepanjang perjalananpun tidak bakal merubah keadaan. Apalagi jika mau berubah pikiran untuk turun saja dan ganti dengan mobil yang lain, itu juga mustahil. Selain prosesnya yang lama, karena harus menunggu lagi. Juga kondisinya tentu tak akan jauh beda dengan mobil ini... sesak. Maklumlah, angkutan umum seperti ini di desaku masih bisa dihitung jari, sementara orang yang hilir mudik dari kota Tana Beru (disebut kota, karena menurutku sudah seramai kota Benteng tempat tugas Bapak) dengan desa tempat tinggalku tak terhitung jumlahnya. Aku dan anak-anak lainnya yang sekolah di kota, sudah terbiasa dengan keadaan ini bahkan ada yang nekad menggelayut di pintu mobil hanya untuk memburu waktu agar tidak kesiangan tiba di sekolah ataupun kesorean tiba di rumah usai sekolah. Sepertu juga hari ini, aku sudah merasa tak sabaran untuk tiba di rumah. Selain karena perut yang diminta diisi setelah seharian belajar, juga entah mengapa seolah ada perasaan lain yang menyelimutiku sejak tadi. "Kiri... kiri... kiri... Pak!" Teriakku tergesa-gesa, ketika mobil mulai dekat dengan rumah. Setelah membayar Rp.1000 perak, aku dengan setengah berlari segera menuju rumah, spontan terhenti mendengar sebuah suara yang menyapa "Dik, kemari sebentar!" Tegur orang itu dengan suara tertekan. Aku jadi kaget dan merasa tak enak hati, kemudian perlahan aku mendekatinya. "Ada apa, Kak?" Tanyaku seraya memperhatikan wajahnya. Dengan sangat berhati-hati dia lalu berujar "Ummimu, terjatuh di sekolah..." tanpa menunggu lanjutan kata-katanya dan tanpa peduli lagi dengan kondisi perutku yang keroncongan, aku berlari sekencang-kencangnya menuju sekolah tempat Ummi mengajar, Sekolah Dasar unggulan di desa kelahiranku, tempat di mana dulu semasa SD aku menimba ilmu di sana, dibimbing dan diajar Ummi yang juga adalah guruku. Guru yang lincah, cerdas, penyayang bukan hanya pada anaknya sendiri, tetapi juga teman-teman sekolahku. Setiba di sekolahan aku segera menyeruak kerumunan orang yang mengelilingi tempat di mana Ummi terbaring tak sadarkan diri. Tak tahu harus berbuat apa, aku hanya mematung kaku menatap Ummi. Aku yang tumbuh dan besar sebagai anak laki-laki yang berpendirian keras tak mampu menahan gejolak perasaanku yang meledak-ledak, seketika terduduk dan menangis sejadi-jadinya... tak peduli lagi dengan orang sekitar. Mereka juga sepertinya sengaja membiarkan aku melampiaskan kesedihan. Setelah suasana hatiku agak reda, teman-teman sebaya dan keluarga mulai menghiburku. Aku juga mulai bicara, setelah dari tadi tak mampu berkata-kata. "Bapak... su.. sudah diberi kabar?" tanyaku masih agak terbata-bata. Seseorang menimpali, "sudah, mungkin tengah malam nanti baru tiba, Bapakmu naik perahu motor!" (sebutan untuk perahu kayu bermotor, alat transportasi alternatif yang menghubungkan Selayar-Bulukumba selain Fery,). "Ohh... syukurlah." Ujarku. Sore hari menjelang magrib, Ummi digotong ke rumah. Orang-orang masih setia mengantar, bahkan bertambah banyak. Aku dengan jiwaku yang belumlah dewasa hanya mampu melihat saja kebaikan orang-orang terhdap Ummi, aku belum bisa memaknai arti dari semua itu. Dengan langkah gontai aku menggandeng kedua adikku, mereka turut membisu seperti mencoba menerka ada apa dengan kejadian ini..., mengapa Ummi bisa tak sadarkan diri..., penyakit apa yang tiba-tiba datang menyerangnya... dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk di benak mereka... atau apalah yang mereka pikirkan, bisa saja mereka berpikir dengan jiwa kanak-kanaknya kalau Ummi itu hanya tidur dan butuh istrahat, sebentar lagi pasti bangun. Menjelang tengah malam, Bapak sudah datang. Aku yang waktu itu tertidur dekat Ummi yang belum juga siuman, terbangun karena suara Bapak yang khas di telingaku. Setelah memandang wajah Bapak sejenak yang nampak lesu, aku kemudian menghampirinya dan kembali menumpahkan sisa tangisku siang tadi. Bapak berusaha menenangkanku dengan mengusap kepalaku. Sepintas aku melirik kedua adikku, ternyata mereka tertidur pulas dan tak bergeming sedikitpun mendengar suara tangisku. Setelah kedatangan Bapak, akhirnya diputuskan malam itu juga untuk membawa Ummi ke rumah sakit di Bulukumba (kebiasaan orang di desa menyebut ibu kota kabupaten dengan "Bulukumba" saja). Aku yang juga ikut, hanya merenung selama perjalanan. Aku kembali hanyut dengan perasaanku, terngiang kembali peristiwa tadi siang yang belumlah aku mengerti, "mungkinkah Aku hanya bermimpi, atau inikah yang disebut firasat?" Bahwa konsentrasi yang hampir tidak ada seharian ini, saat latihan puisi, saat belajar, inilah artinya? Bahwa munculnya wajah Bapak dan Ummi dalam lamunanku tadi siang akan berujung seperti ini? "Atau mungkin inilah awal akan terwujudnya sebuah keinginan, akan hadirnya Bapak di tengah-tengah keluarga dan hidup bersama kami?" Akhh.. aku terlampau banyak berkhayal, yang jelas sekarang Ummi tentu butuh kehadiran kami semua. Setahun telah berlalu, Ummipun sudah diperbolehkan pulang setelah berbulan-bulan lamanya di rawat di rumah sakit (bagaimana Ummi siuman, pindah dari RS yang satu ke RS yang lain, bagaimana aku yang hidup nomaden dari keluarga yang satu ke sanak famili yang lain dan bagaimana luntang lantungnya aku dan adikku masa itu, pelajaranku dan kisah kasihku di sekolah tak diceritakan di sini). Kondisi Ummi belumlah sehat dan pulih. Menurut keterangan Dokter, Ummi terkena "stroke". Karena keterbatasan pengetahuanku, akupun tak tahu penyakit macam apa itu. Orang di desaku menyebutnya penyakit setengah badan dan banyak lagi anggapan yang bukan-bukan serta mengarah ke takhyul. Katanya Ummi kena angin hantu, angin yang selalu datang subuh hari menjelang pagi yang siap menampar orang-orang, dan mungkin itulah yang menerpa Ummi. Untuk menghindari angin ini, disarankan pada saat pertama kali buka pintu di pagi hari mestilah sembunyi dulu di balik pintu agar tidak langsung bersentuhan dengan ini, ADA-ADA SAJA. Ya... meski begitu, aku lebih sepakat dengan penyakit setengah badan itu. Memang ada benarnya juga, karena separuh bagian badan Ummiku memang tak bisa digerakkan. Aku merasa tak kuat menerima kenyataan ini, tapi kehendak Yang Maha Kuasa siapa yang tahu. Kami sekeluarga harus rela menerimanya. Setelah mengurus kepindahannya, Bapak tugas di kota tempat aku bersekolah. Kini, kami sekeluarga sudah utuh, namun terasa ada yang hilang. Ummiku berbeda dengan yang dulu lagi, keceriannya serta merta hilang. Di wajahnya kini jarang lagi ada senyuman, yang nampak hanyalah guratan kesedihan dan kecemasan akan sakit yang dideritanya. Bapak, aku dan adik-adikku bertekad merawatnya dengan harapan dan do'a akan kesembuhannya. "Ummi, semoga engkau lekas sembuh dan semoga Yang Maha Kuasa memberimu kesabaran dan ketabahan dalam menerima cobaan-Nya." Pintaku dalam do'a.
Bulukumba, 13 Juni 2014
Sumber Illustrasi : Di sini
NB :
Silahkan bergabung di fb Fiksiana Community
Untuk membaca karya peserta lain, silahkan menuju ke sini atau ke Fiksiana Community
BACA JUGA : Cerita Versi Bapak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H