Oleh : ANUGERAH OETSMAN
Haru memenuhi ruang hatiku menyesak dada, sepenuh aula pertemuan sekolah, sesesak peserta yang hadir pagi ini, kepala sekolah, guru-guru teman mengajar, dan hampir semua siswa SMA Negeri 256 Benteng Selayar sudah berada dalam ruangan. Dengan langkah yang berat tertahan, saya menuju tempat duduk yang sudah dipersiapkan untukku, persis dekat Bapak Kepala Sekolah. Sambil menunggu beberapa undangan yang belum datang, aku berbincang saja dengan Bapak Kepsek. Setelah memastikan tak ada lagi yang ditunggu, Bapak Kepsek berpaling ke arah protokol dan dengan sedikit anggukan memberi isyarat untuk segera memulai acara. Yah, hari ini adalah acara perpisahan tepatnya pelepasan saya sebagai tenaga pendidik di sekolah ini untuk pindah ke sekolah yang baru di pulau yang berbeda, tempat keluargaku menantikan kehadiranku. Dalam waktu yang tidak lama lagi, saya akan meninggalkan segala kenangan yang pernah terukir di sekolah ini. Segala keindahan yang pernah tercipta di pulau ini. Negeri kelahiranku, negeri yang membesarkanku, negeri yang selama satu dasawarsa aku mengabdi mencari nafkah untuk keluargaku nun jauh di sana. Negeri yang rupanya tidak menyediakan jodoh untukku, dan berlabuhlah hati ini pada satu hati yang lain melintas pulau. Bulukumba, di sanalah nanti tempat yang kutuju dan mungkin akan menghabiskan sisa waktuku bersama istri dan anak-anakku. Terdengarlah suara protokol membuka acara, satu persatu susunan acara disampaikan, pembacaan kitab suci Al-Quran, Sambutan kepala sekolah, sepatah kata mewakili guru, sepatah kata dari perwakilan siswa, kesemuanya menyampaikan pesan dan kisah kebersamaan kami dan itu sungguh semakin membuatku sedih saja. Ketika akhirnya suara protokol memecah gejolak hatiku, "kita melangkah ke acara selanjutnya, penyampaian kata-kata perpisahan oleh Bapak Abdul Rahim, kepada Bapak dengan hormat dipersilahkan." Deg... seketika dadaku bergemuruh, detak jantung mendadak kencang. Kutarik nafas dan menghembuskannya perlahan, sedapat mungkin saya menguasai emosiku dan sejurus kemudian saya bangkit dari tempatku. Setelah menunduk memberi hormat pada hadirin, sayapun melangkah ke podium. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan, kutarik lagi nafasku dan kini lebih dalam sambil memejamkan mata sesaat dan kembali kuhembuskan nafas itu perlahan. Kucoba bersikap wajar. Sekali lagi kupandang sekeliling ruangan, saya sudah dapat mengendalikan perasaanku hingga kemudian saya angkat suara : ....."Assalaamu 'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh
- Puji syukur kepunyaan Allah, Tuhan yang senantiasa melimpahkan Rahmat, memberi hidayah pada hambaNya. Yang mempertemukan dan memisahkan.
- Salawat dan taslim atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah memberi tuntunan hidup bagi umatnya. Yang memberitakan kabar yang menggembirakan. Memberi kabar berita yang menakutkan
- Terima kasih kepada penyelenggara dan panitia, yang telah merelakan waktunya yang berharga untuk terlaksananya acara ini.
- Salam hormat pada Bapak-bapak dan Ibu-ibu pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.
- Selamat sejahtera untuk anak-anakku, tunas-tunas nusa, tumpuan harapan Ibu/Bapak.
Sebelumnya, lebih dahulu saya haturkan maaf jika dalam membawakan acara ini, saya salah dalam bertingkah keliru dalam bertutur. Itu semua pertanda kekurangan dan keterbatasan kemampuan saya. Di samping itu karena apa yang akan saya sampaikan, mungkin ada yang keluar dari jalur seperti yang oleh protokol sampaikan "kata-kata perpisahan". Pertemuan tidaklah senantiasa membawa kegembiraan, keakraban, keserasian dan semacamnya. Sebaliknya perpisahan tidaklah selalu menyebabkan kegelisahan, kerisauan, kesenduan dan semisalnya. Namun tak bisa diingkari bahwa rasa sedih dan haru hampir selalu mengiringi suatu perpisahan. Apakah dialami dan dirasakan oleh kedua belah pihak, yang ditinggal dan yang pergi, atau hanya oleh sepihak. Ini akan banyak bergantung pada "siapa yang pergi", "siapa yang ditinggal" dan mengapa terjadi perpisahan."..... ....."Bapak Ibu dan anak-anakku sekalian, Perpisahan adalah suatu hal yang barangkali tak seorangpun pernah mengimpikan apalagi menanti kehadirannya. Namun ia adalah suatu tradisi yang kapan saja dapat bahkan mutlak harus terjadi, terutama bagi kita sebagai Pegawai Negeri. Apakah dengan jalan diminta, ditunjuk langsung dari atasan, melalui jalan pintas potong kompas, atau dengan mengendap-endap meniti jalur panjang, cepat atau lambat, bahkan kadangkala rela ataupun tidak. Tidak mustahil pula mungkin hanya karena terpaksa. Atau boleh jadi masa tugas telah tuntas, malaikat maut datang menjemput. Yang jelas bagaimanapun cara, apapun sebab dan kapanpun datangnya, hal tersebut harus kita alami dan siap menerima kehadirannya."..... Saya diam sejenak, kuangkat kepala dari naskah yang ada di depanku, kutatap lagi hadirin sebelum kembali melanjutkan. ....."Bapak Ibu dan anak-anakku sekalian, Di antara sekian guru yang mendahului saya menyampaikan "salam perpisahan", salah seorang di antaranya memilih istilah "perputaran" dalam kata-kata perpisahannya dengan kita. Ada yang pergi dan tentulah akan ada pengganti. Berputar saja seperti itu adanya. Bagi saya sendiri agaknya sulit menemukan kata yang tepat untuk perpindahan saya, yang jika tiada aral melintang Insya Allah tinggal menentukan hari dan tanggalnya saja selepas acara ini. Penggunaan istilah "perputaran" barangkali serupa tapi tak sama sebagaimana kepergian saya nanti. Kalau beliau berangkat dari titik pusat tanah kelahirannya, berada di tempat ini sebagai bagian perputarannya, lalu berpindah kembali ke pusat (kampung halamannya). Maka apa yang saya alami sedikit berbeda, dahulu saya merantau di negeri seberang Bulukumba, mendapatkan cinta saya di sana, namun amanah dan tugas ternyata menempatkan saya di sini, mengabdi di tanah kelahiran saya. Lalu kemudian takdir sudah menentukan saya harus kembali ke negeri rantau saya itu. Tentu memakai istilah perputaran agak kurang cocok, tetapi mungkin sedikit lebih mendekati dengan kata "mengorbit". Saya katakan demikian karena jika tiada halangan, tempat tugas saya nanti berjarak 9 km dari desa kelahiran keluarga saya dan entah berapa mil dari pulau kita ini. Namun kurasa, ini sedikit lebih adil ketimbang dengan cara hidup yang kami tempuh selama beberapa tahun berselang."..... ....."Bapak Ibu dan anak-anakku sekalian, Bertahun-tahun kita hidup bersama dalam dekapan burung "tutwuri handayani" sebagai pengemban tugas kependidikan. Bersama mengecap suka, beriring membuang duka. Bila dihitung lamanya saya bertugas di sekolah kita ini sesuai dengan SK penugasan saya, sampai hari ini genap 10 tahun 11 bulan 3 hari. Suatu penantian yang cukup lama kurasakan, kendati pada sisi lain justru terlalu amat singkat. Lama saya maksudkan dalam pengertian selalu dibayangi dan merasa terpanggil oleh suatu tanggung jawab sebagai seorang suami yang harus menumpahkan kasih kepada istri seorang, sebagai ayah yang berpisah jauh dengan anak-anaknya, hal tersebut menjadi suatu hal yang sangat berat untuk dijalani, kecuali oleh mereka yang keberadaannya sebagai pengemban tugas yang sifatnya up down serupa atau hampir sama dengan yang kualami. Bertemu dengan anak-anak secara semesteran di saat liburan atau dipanggil karena di antara mereka ada yang sakit dan semacamnya. Keadaan ini berlangsung di saat anak-anakku dalam masa pertumbuhan, mendambakan kasih sayang dan bimbingan seorang Bapak."..... ....."Bapak Ibu dan anak-anakku sekalian, Sangat-sangat singkat saya katakan karena silaturrahmi di antara kita selama ini terjalin begitu intim dan sangat akrab. Hari-hari yang kita lewati bersama selama lebih satu dasawarsa dihiasi dengan suasana ramah penuh suka ria, kesan mana punya tempat dan makna tersendiri dalam ingatan sebagai memory yang tergarisbawahi dicetak miring dan tebal nan patut dikenang... Kesemuanya itu telah membuat hati resah hendak berpisah, kaki berat untuk melangkah."..... ....."Bapak Ibu dan anak-anakku sekalian, Tak ada gading yang tak retak, begitu tutur sebuah pepatah. Bagaimanapun tenteram dan tenangnya lautan kala berlayar, betapapun kecilnya, sekali-sekali passti datang jua dua tiga ombak mengalun, isyarat bahwa kita sedang berlayar. Betapapun langit biru, hari cerah, walau sepintas pasti lewat juga mega menghalang. Begitu pula betapapun rukun dan eratnya suatu ikatan persaudaraan pasti pernah juga terjadi kesalahfahaman, kekeliruan, kekhilafan atau minimal ketidakpuasan di antara mereka, akibat tindakan atau ucapan. Kekhilafan dan kekeliruan tak bergantung pada lama singkatnya suatu lakon dan peristiwa, tapi banyak ditentukan oleh kemampuan watak dan sifat pemerannya. Mengenai hal ini secara jujur saya akui, atas segala kekurangan yang terjadi selama saya mengemban tugas, karenanya melalui kesempatan ini dengan penuh rasa rendah hati saya harapkan kesediaan dan kerelaan Bapak kepala sekolah, rekan-rekan guru dan staf di sekolah ini sudi memaafkannya. Begitu pula terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak atas segala bantuannya, baik yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas saya sehari-harinya, atas segala pengertiannya selama keluarga saya dirawat di rumah sakit yang tak terbilang banyaknya saya lalai dari tugas karena harus bolak balik Selayar Bulukumba demi memantau perkembangan kesehatan istri saya. Atas segala sumbangan materil maupun dukungan moril. Sekali lagi terima kasih kepada semua pihak yang turut memperlancar proses perpindahan saya. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda"..... Kureguk seteguk air dalam gelas yang ada di depanku. ....."Terkhusus pada anak-anakku sekalian yang kucintai, Kehadiranmu di sekolah kita ini jauh lebih singkat dibanding keberadaan gurumu sebagai tenaga pendidik. Dengan kata lain yang namanya anak itulah yang memisahkan diri dari ibu bapaknya. Demikianlah setiap tahunnya ratusan siswa meninggalkan sekolah kita ini dan tentunya sekaligus berpisah dengan gurunya. Ada yang terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, sebagian lagi duduk mengaso mungkin karena bekal yang tidak cukup, atau kemampuan belajarnya yang tidak mumpuni untuk lanjut. Tidak kurang pula yang mengunci langkahnya dengan mencari "ijazah" yang lain di depan penghulu. Seiring dengan perkembangan teknologi, muncullah istilah-istilah baru yang lebih canggih dari kata canggih, segalanya serba canggih dan instant, alat-alat yang canggih, makan yang canggih, ini itu instant, sana sini canggih. Tapi jangan pernah berpikir ada belajar canggih dan instant. Pada malam esoknya mau ujian baru belajar, menyiapkan catatan untuk contekan, begadang sepanjang malam, karena mengantuk masuk ruang ujian nampak teler. Semua soal dirasa sukar, salah-salah akhirnya dapat nol. Kalau romo galak , anak dihajar sampai babak belur. Tapi dasar anak goblok, ambil golok, ngamuk lalu kabur. Satu pesan sebagai bahan renungan untukmu : Contohlah lebah, lebah terbang dan hinggap dari bunga satu ke bunga yang lain. Ia menolong sang bunga mengembangkan jenisnya, dan sebagai imbalannya ia disuguhkan madu. Semua orang segan dan simpati karena jasa-jasanya. Dan janganlah ada yang meniru lalat. Terbang dan hinggap dari yang kotor ke kotor yang lain, dari sampah satu ke sampah yang lain. Yang disebarkannya adalah penyakit. Semua orang merasa jijik."..... ....."anak-anakku sekalian yang kucintai, Terlepas dari segala kesalahan dan kekhilafan, saya juga termasuk salah seorang gurumu yang mencintai anak didiknya. Di suatu waktu mungkin saya pernah lepas kendali hingga membuat kalian tersinggung dan kecewa ataupun marah. Olehnya itu jika ada kesan negatif selaku guru atau selaku pribadi, melalui kesempatan ini jangan lagi hal itu dibawa pulang. Kita saling memaafkan di tempat ini. Tertitip pesan, sampaikan harapan ini pada temanmu yang berhalangan hadir di acara ini."..... ....."Bapak Ibu dan anak-anakku sekalian, Pada dasarnya kita semua ini punya perasaan sama. Di kala suka, kita ingin bahkan kalau perlu mengundang kerabat dan handai taulan untuk turut bersama-sama. Dan di saat duka kita butuh teman bahkan sering malah perlu bantuan dan pertolongannya. Gundah dan galau di hati terasa terobati, kalau segala yang terpendam sudahlah tercurah, apatah lagi kalau mereka nampak menaruh simpati. Dan karena saya merasa berada di antara saudara-saudaraku yang punya rasa simpati, bahkan lebih dari itu, sebelum kita berpisah, saya masih ingin mencurahkan sebagian suka duka saya pada saudaraku semua. Salah satu peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia, yang sebagian orang mengabadikannya dengan tinta emas, adalah hari pernikahan, hari yang penuh canda tanpa gundah nan lekat sepanjang hayat. Begitulah saya, sudah pula berkeluarga sebagaimana saudara sudah tahu. Sejak mengemban tugas pertamakali di tempat ini sampai hari ini, kami malah terpisah jauh. Selama 15 tahun usia perkawinan, kami hanya berkumpul di hari-hari libur, pada acara-acara tertentu saja atau jika ada yang sakit, atau salah seorang keluarga berpulang ke rahmatullah. Yah, kami sangat jauh dari ukuran Keluarga Sehat Sejahtera (KSS) tetapi lebih condong pada Keluarga Saling Susah. Sebagai bukti konkrit bahwa kami juga tergolong pasangan yang ideal, dari hasil kerjasama kami yang rapi dan sangat rahasia, Tuhan telah menganugerahi kami dua orang putra dan seorang putri. Terlepas dari kata "perpisahan" semestinyanya saya sangat bergembira, karena impian kami untuk suatu saat dapat juga berkumpul, hidup bersama seperti dambaan suami istri pada umumnya, bulan ini Insya Allah menjadi kenyataan. Namun seperti yang sebahagian saudara-saudaraku sudah ketahui, sebab musabab apa yang terjadi di balik kepindahan ini yang bukan kami minta-minta. Ibarat rasa gembira itu sebuah bintang, sinarnya terselubung oleh awan kelabu. Impian hidup tenteram damai tak kurang suatu apa, dambaan setiap orang, bagi kami mungkin hanya tinggal impian dan harapan saja.".... Aku tenggelam lagi dalam gejolak kesedihanku, tak terasa jua sesuatu yang hangat seakan menggenang di mataku. Kutahan perasaan itu, aku melirik pada hadirin dan aku perhatikan kami larut dalam suasana yang sama... SEDIH. Dengan sedikit terpatah dengan suara cekat tertahan. Aku melanjutkan akhir tulisanku. ....."Seringkali kita dengar orang berkata : Pertemuan adalah awal dari perpisahan, tak ada pesta yang tak usai betapapun akrabnya. Bertemu dan berpisah seringpula diungkapkan oleh mereka yang sedang rindu, atau gagal menggapai cinta, melalui nada-nada sendu, irama sentimental, ataupun bercerita mengadu lewat pos. Dan... Saya sendiri. Saya mohon pamit, mohon diri, kembali ke negeri tempat berlangsungnya suatu bab dari perjalanan hidupku kututup, dan kumulainya sebuah bab baru. Negeri tempat kuikrarkannya sebuah janji bahwa saya siap mengembannya. Selamat tinggal... selamat tinggal saya ucapkan kepada Bapak Kepala Sekolah, Bapak ibu guru, Bapak Ibu staf sekolah. Selamat tinggal dan selamat belajar anak-anakku. Selamat tinggal pulauku, selamat tinggal Tana Doang, selamat tinggal Selayar, negeri tumpah darahku. Kenanganmu yang manis ataupun pahit lebur menyatu membentuk lukisan yang indah, takkan lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas, hidup subur terpatri kokoh dalam kalbu, bak pahatan prasasti di atas sebuah batu. Nantikan diriku... Kuakan kembali mengunjungimu, di lain waktu, kapan-kapan hati ini rindu. Insya Allah Wassalaamu 'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.".....
Selesai
Bulukumba, 13 Juni 2014 Musim ini hangat tentang pidato, musim perpisahan dan penamatan anak sekolah maka cerita inipun dibuat versi pidato ^_^
Sumber Illustrasi : Di sini
NB :
Silahkan bergabung di fb Fiksiana Community
Untuk membaca karya peserta lain, silahkan menuju ke sini atau ke Fiksiana Community
BACA JUGA : Cerita Versi Anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H