***
Limah terdiam. Diteguknya teh buatan Tari, mungkin itulah seduhan terakhir cucunya itu sebelum dia berangkat meninggalkan kampung ini. Pikirannya kacau. Dia memang sudah tahu bahwa kepergian Tari tentu akan menjadikan rumah ini akan terasa lengang. Semua akan kembali ke sedia kala, hanya berdua dengan Arman, orang yang membantunya selama ini mengurus rumah dan kebun. Alangkah sepinya nanti!
Sudah seminggu Tari berada di kampung. Sudah seminggu pula ayahnya menemani liburan gadis kecil 12 tahun itu. Tari sangat menikmati liburannya. Halaman rumah yang tidak seberapa luas itu menjadi tempat bermainnya, mengejar kupu-kupu, menjolok buah mangga, dan sesekali membantu Arman menata taman.Jika malam tiba ia akan tidur bersama nenek, mendengarkan cerita dan dongeng dari Nek Limah sebelum ia pulas.
Hari ini adalah hari terakhir Nek Limah bersama Tari, karena sebentar lagi Tari akan pulang meninggalkan tanah Sulawesi menuju Papua nun jauh di ujung negeri. Berat rasanya hendak melepas cucu kesayangannya itu, “Nenek sudah cukup tua, saya sudah tidak punya apa-apa selain rumah ini dan kebun kecil di sudut kampung itu. Tidak ada kesibukan, selain menapaki hari-hari sepi berhiaskan rindu. Rindu… rindu dan rindu. Rindu pada ibumu, rindu akan hadirmu nak… wajahmu mengingatkanku pada ibumu dan itu ‘lah jadi pengobat sepi ini,” diraihnya tangan Tari dan ditatapnya lekat-lekat wajah anak itu, senyum kanak-kanak Tari yang manis itu mau tidak mau memancing air mata Limah. Dan itu sertamerta membuat senyum Tari berubah menjadi mewek, Tariikut menangis dan memeluk nenek Limah… Ayah yang berdiri tidak jauh dari situ hanya menunduk seakan tak kuasa pula menahan haru.
Lalu dengan nada sedih nenek Limah melanjutkan, “seminggu engkau di sini, benar-benar mengisi kerinduan itu, mengganti rasa kehilangan nenek akan anak kesayangan semata wayangku…” Limah mengusap airmata dengan telapak tangannya, “ jangan lupakan Ibumu, nak! Selalu doakan kapan saja, Dia yang telah pergi ke tempat istrahatnya yang abadi, dia menyusul kakekmu mendahului kita, semoga tenang di alam sana.” Ucapan nenek barusan membuat Tari semakin mempererat pelukannya, “ibuu… hu..hu..hu.., iya.. nek, Tari selalu berdoa untuknya…”
Meskipun jiwanya masih kekanak-kanakan, Tari tentu masih mengingat persis wajah ibunya, ia meninggal karena kecelakaan pesawat dua tahun yang lalu. Kini di hadapannya seorang nenek yang sangat persis dengan wajah ibunya, ibu tua yang melahirkan ibunya.Dan wajah itu pulalah yang membuatnya kembali terkenang dengan peristiwa naas itu. Sesaat sebelum berangkat menuju Jakarta untuk kegiatan pelatihan guru-guru mewakili sekolahnya, hari itulah wajah ibu untuk terakhir kali di lihatnya, karena sosok itu tak pernah kembali lagi setelah pesawat yang ditumpanginya jatuh di laut lepas. Ibunya adalah salah seorang penumpang di antara beberapa penumpang yang sampai kini tidak diketemukan di mana jenazahnya. Entah di mana ia berada, namun di hati Tari, Nenek Limah dan ayah, sudah pasti ibunda masih bersemayam di sana, ditemani doa-doa mereka siang dan malam, berpayungkan kasih sayang Allah sepanjang hari.
Wajah tenang ibunya seteduh wajah neneknya. Halus suara ibunya selembut suara Nek Limah. Tari mengangkat kepala memandang wajah haru nek Limah, sebagaimana haru yang menyeruak memenuhi rongga dadanya, “Tari pamit dulu ya Nek, esok Tari masuk sekolah, doakan Tari semoga selamat sampai tujuan, sukses menuntut ilmu biar bisa membahagiakan Nenek, Insya Allah libur nanti ke sini lagi…” Tutur Tari polos kemudian mengecup kening Nek Limah memaksa sedikit senyum di antara isak sedihnya, nenek membalas menciumi pipi Tari.
“Iya Nak, hati-hati di jalan semoga tiba di Papua dengan selamat, jangan lupa selalu ingat Allah dalam perjalanan…” Nek Limah membuang jauh-jauh pikirannya yang tidak-tidak tentang keberangkatan orang-orang tersayangnya dengan pesawat. Dia lalu berpaling ke ayah, “jaga cucuku ya Nak….,dan berilah kabar senantiasa…” hanya itu yang sempat terucap dari mulut nenek karena lagi-lagi ia merasa sesak menahan sedih.
Ayah menjabat tangan Nek Limah, menciumnya khidmat dan lalu memeluk tubuh Nek Limah erat, “Insya Allah dia akan selalu dalam penjagaanku, Bu… jaga dirimu dan baiklah selalu Bu, kapan-kapan kami kembali lagi ke sini.” Ayahpun pamit, sebab esok dia juga harus masuk kantor. Setelah memberi pesan-pesan kepada Arman, ayah dan Tari segera menuju ke mobil yang akan mengantarkan mereka ke bandara.
Selamat tinggal ya Nek, nantikan cucumu. Ke Sulawesi juga daku kembali. Ucap Tari dalam hati. Merekapun berpisah dengan saling melambaikan tangan membawa kenangan masing-masing dari suatu pertemuan liburan yang singkat.
SELESAI ***
Bulukumba, 0401 2015 (Anugerah Os)
Sumber Illustrasi : Di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H