Tak jarang, itu artinya sering, kita nggebyah uyah atau menggeneralisir satu fakta ke dalam fakta secara keseluruhan. Kalau bahasa inggrisnya lebih kurang a part taken for the whole. Sikap batin dan pikiran model begitu kita lakukan dalam banyak hal, banyak perkara. Kita melihat satu warna di satu sudut, kemudian berkesimpulan bahwa semua sudut berwarna sama. Kebiasaan nggebyah uyah, gemar tergesa-gesa memberikan simpulan tanpa melihat warna dari sudut-sudut yang lain semacam itu adalah indikasi kuat bahwa kita adalah jenis kelompok manusia yang menyia-nyiakan potensi akal yang diberikan gratis oleh Tuhan alias malas berpikir. Itu juga berarti pengingkaran kenikmatan. Dalam bahasa yang lebih keren sering disebut kufur nikmat. Setidaknya sikap itu adalah bagian dari kelakuan kufur nikmat. Tapi itu penilaian subjektif saya, meskipun saya tadi menggunakan kata "kita". Sebab sebagian besar dari kita memang faktanya senang betul memiliki perilaku demikian. Sebagian besar itu artinya lebih dari 50 persen. Diakui atau tidak, fakta yang hadir di mata saya seperti itu.
Saya tidak hendak membahas persoalan kufur nikmat atau angka yang 50 persen itu. Itu hanya untuk pengantar cerita berikutnya saja.
Begini. Saat masih aktif kuliah tatap muka, sebelum ada pendemi, saya berkesempatan - tepatnya membuat kesempatan sendiri -- untuk pulang ke Pangkalpinang melepas kerinduan saya ke anak-anak. Anak-anak saya beneran, juga sekaligus melepas kerinduan ke anak mertua. Dua pekan saya habiskan 'kesempatan' waktu luang itu di rumah.
Bercengkerama dengan tetangga masuk dalam agenda kepulangan saya, termasuk dengan Aceng dan Mukhlis. Keduanya tetangga sekaligus teman, teman tapi juga tetangga. Saya yang berdarah Jawa, agar terhindar dari status murtad dari kejawaan, tentu menyimpan lagu-lagu Jawa di memori HP. Selepas Dhuhur kami bertiga berkesempatan ngobrol sambil ngopi di teras rumah Mukhlis. Obrolan demi obrolan dengan beragam tema mengalir begitu saja, dari level RT hingga level internasional, sampai kemudian saya memutar lagu-lagu Jawa yang sedang populer di HP, siapa lagi kalau bukan lagunya godfather of broken heart Didi Kempot (almarhum). Sobat Ambyar!
Sebenarnya, suaranya tak begitu kuat, tapi rupanya cukup mengganggu telinga kedua teman saya sebab memang keduanya tak memiliki darah Jawa. Tak bisa bahasa Jawa. Tak paham lirik lagunya. Lagu demi lagu saya putar sampai kemudian keluar suara 'protes' dari Aceng yang intinya meminta saya menyudahi lagu-lagu Jawa itu.
"Kalau orang lain lihat kita, pasti kita dikira tukang lagi ngaso," begitu bunyi protes Aceng.
Demi mendengar protes itu tawa Mukhlis seketika menggelegar. Tak terkecuali, saya.
Sebabnya begini. Kebiasaan di daerah yang saya tinggali, pekerja bangunan atau tukang adalah mereka orang-orang Jawa baik asli maupun keturunan, baik yang perantauan atau yang sudah berdomisili dan berKTP daerah ini. Nah, saat bekerja dan lebih-lebih saat mereka isitirahat atau ngaso, jam 12 sampai jam 1 biasanya mereka memutar lagu-lagu Jawa terutama lagunya Didi Kempot. Kebiasaan para mas tukang inilah yang kemudian memunculkan stereotip atau asumsi masyarakat di daerah saya bahwa lagu Jawa adalah lagu tukang bangunan.
Jadi ketika kami bertiga sedang 'nongkrong' di depan rumah Mukhlis dan saya memutar lagu-lagu Jawa pada jam-jam istirahat siang seperti itu, Aceng khawatir orang-orang yang melihat kami, lantas berpikir kalau kami adalah pekerja bangunan yang sedang ngaso. Entah khawatir, entah malu atau entah apalah. Yang saya pahami dari protesnya itu adalah ia tak mau dicap sebagai tukang bangunan. Ia adalah eksekutif muda punya usaha toko dan mengelola usaha rental mobil.
Saya dan Mukhlis seperti memiliki kesadaran yang sama hingga kemudian kami tertawa hampir bersamaan.
Obrolan pun kemudian bergeser ke asumsi orang terhadap orang yang lain. Asumsi yang lahir dari kebiasaan mendengar lagu maupun kebiasaan pekerjaan yang dijalani. Selain pekerja bangunan, penjual bakso, mie ayam, penjual es, tukang pijat dan asisten rumah tangga, juga diasumsikan sebagai profesinya orang-orang Jawa. Pedagang sate adalah orang Madura. Pembuat gorong-gorong adalah orang Aceh dan sebagainya.