Lihat ke Halaman Asli

Saiful Anwar

Pengajar yang masih terus belajar. Tinggal di Pangkalpinang Bangka Belitung

Dari Dugaan Menuju Spot Persaudaraan

Diperbarui: 15 Juli 2020   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Sungguh benar adanya bahwa makhluk bernama manusia adalah jenis makhluk yang hobi berprasangka, menduga-duga. Sebab memang 'siapa yang tahu pasti?' Ribuan kali menyaksikan dan mengalami, ribuan kali pula kebenaran itu seolah mengagetkan ruang kesadaran.

Saya sengaja menuliskannya agak ribet dan  muter-muter, tak lain agar anda menyangka saya cerdas. Sebab begitulah manusia, gemar berprasangka dan menduga-duga.

Sebenarnya saya ingin bercerita tentang dua saudara saya yang menyangka dan menduga jika saya adalah 'master' mancing, pakar dalam hal pancing-memancing dan segala tetek bengeknya. Bagi saya ini adalah 'kasus salah sangka dan salah duga', tapi biarlah itu menjadi rahasia yang akan segera mereka buka. Tentu saja jika catatan ini terbaca mereka.

Hari Minggu kemarin (12/07), mereka berdua setengah memaksa saya untuk menemaninya mancing udang galah di Sungai Air Pandan. Saya sendiri sudah sekian kali mancing udang galah di sungai itu pakai perahu dayung maupun perahu mesin.

Dari situ saya berani menduga kalau prasangka mereka itu didasari karena melihat kuantitas kegiatan mancing saya yang lebih banyak dari mereka berdua. Padahal kuantitas belum tentu berbanding lurus dengan kualitas. Tapi demi persaudaraan, prasangka mereka itu saya biarkan menemukan jawabannya sendiri. Jika nanti mereka mendapat jawaban 'owalah ternyata...' itu orisinil dari temuannya.

Sampai di sini kira-kira paham 'kan maksut saya? Kalaupun tidak, ya tidak apa-apa. Tidak penting juga.

Saya sendiri menjadi saudara mereka, dalam arti menjadi bagian dari keluarga besar mereka, dari jalur istri. Mereka berdua itu cucu dari bude istri saya. Kalau dalam struktur keluarga jawa, mereka adalah keponakan, karena istri saya adalah sepupu bude. Berarti saya adalah 'Om'nya mereka. Kalau dalam struktur keluarga Bangka, saya tak paham. Mereka biasanya memanggil saya 'Abang'. 

Entahlah, ribet ngurusi yang begini-begini meskipun itu penting dalam kacamata ilmu pengetahuan dan budaya. Tapi untuk saat ini yang penting kami sama-sama tahu kalau kami adalah satu keluarga. Itu saja sudah cukup. Karena merasa tak punya cukup ilmu, saya tak berani menduga-duga soal ini.

Keduanya masih 'kinyis-kinyis', muda belia dan tentu saja lebih ganteng dari saya. Masa depannya juga nampaknya akan baik-baik saja dan cerah ceria. Keduanya sedang sama-sama merintis masa depan 'cerah ceria' itu. Meski sedang sama-sama merintis masa depan namun keduanya memilih tarekat yang berbeda.

Yang satu biasa disapa Agil, mustinya Aqil yang artinya banyak akal. Tapi tak mengapalah, toh yang punya nama tidak keberatan. Ia merintisnya dengan jalan melanjutkan pendidikan di pojokan bangku kuliah dan sekarang sudah memasuki semester ketujuh. Sebentar lagi KKN, garap skripsi, dan wisuda. Semoga usai diwisuda ia tidak menjadi donatur jumlah pengangguran di NKRI. Toh ibunya jauh-jauh tahun sudah menyiapkan 'lahan' untuk meregenerasi ilmu-ilmu alquran yang kini masih digenggamannya. Itu doa saya sebagai 'Om' untuknya.

Satunya lagi biasa dipanggil Dadot. Ia merintis jalan masa depan di perusahaan perbankan. Benar-benar merintis, karena ia memulai karirnya sebagai tukang sapu alias office boy alias OB. Karir itu sudah dimulainya sejak tujuh tahun lalu. Meski sudah sekian tahun karir itu dirintisnya, tapi saya tak berani menduga ia sekarang sudah menjabat Kepala Cabang atau minimal Kepala Cabang Pembantu lah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline