Lihat ke Halaman Asli

Pendeta Payah. Bos Payah. Klien Payah. Sejawat Payah

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sambil menguap, anggota jemaat itu mengetikkan, "Khotbahnya ngebosenin, bikin ngantuk." Cukup dengan BlackPing di BlackBerry maka layanan ping.fm langsung memperbarui statusnya di Twitter, Facebook, Ning, MySpace dan lainnya. Sebuah laporan langsung dari gereja. Setelah paduan suara usai, Pak Pendeta bangkit dari duduknya. Ia berkata, "Puji Tuhan, saya sudah merespon 100 tweets. Dulu Yudas Iskariot, dalam Jesus Christ Superstar, menyalahkan Yesus kenapa lahir sebelum ada komunikasi massa. Sekarang, mungkin menyalahkah Yesus kenapa lahir sebelum ada media sosial..." Semoga contoh karangan saya ini tak terjadi besok, saat misa atau kebaktian Natal. Tapi pada awal-awalnya Plurk, saya membaca status pengguna yang bosan kepada khotbah Jumat yang dia ikuti. Sekarang di Twitter, ada saja laporan dari kebaktian di gereja dan jumatan di masjid. Sopankah mengaktifkan peranti mobile selama ibadah? Anda sajalah yang menjawab. Sebetulnya saya sedang berbicara hal yang lebih luas dalam new media. Soal batas kepantasan. Beberapa kali saya menjumpai status yang ngerasanin atasan ("Bos nanya mulu. Dia ngerti gak sih?") dan sejawat ("Senior kok lelet!"). Ada pula yang mengeluhkan rapat bertele-tele ("Mestinya TGIF, tp meeting gak jelas mulu kyk gini. Damned!"). *) Itu soal internal, bahkan kadang sudah terumuskan sebagai bagian dari rahasia perusahaan, sehingga kurang elok jika dilempar ke publik -- terlepas dari orang kantor baca atau tidak status itu. Misalkan bos baca? Saya menduga (baca: berharap) dia tak akan membalas karena paham keadilan versi jalanan. Sepeda menabrak motor, yang salah motornya. Motor menabrak mobil, yang salah mobilnya. Anak buah ngerasanin atasan, itu default. Kalau bos ngerasanin anak buah, dianggap childish, norak, kampungan. Mirip kan? Tak hanya soal kantor yang pernah saya lihat dalam sejumlah status. Ada juga pengguna Twitter dan lainnya yang tak sungkan ngerasanin klien: "Dpt client dudul banget. Grhhh..." Sungguh tak tahu diri, padahal dapat duit dari klien. Kalau tak puas, atau kesal, jangan dilempar ke publik.**) Klien yang barusan diajak meeting, meski tak disebut namanya, dengan segera paham bahwa pihaknyalah yang diserang. Cara paling sopan adalah membatalkan kontrak atau rencana kerja sama, dengan bukti screenshot status tadi (bila dianggap perlu). :D Selain klien, tentu saja pemasok dan mitra lainnya. Ngerasanin petugas cleaning service atau satpamwan yang outsource juga kurang layak. Itu termasuk soal internal. Tak usah diumbar keluar. Tapi yah begitulah. Ini soal kedewasaan. Alasan orang bermedia sosial -- dari blog sampai mikroblog -- antara lain karena mau melepas unek-unek. Tentang etika ngeblog, saya pernah menulis posting dua tahun lalu (Blog dan Rahasia Dapur Kumpeni) dan tahun lalu (Blog sebagai Jendela Masalah). Mikroblog lebih tebal ranjaunya karena menuliskannya semudah SMS, dengan peranti genggam pula. Begitu terkirim maka menyebar. Si penulis seringkali tak sempat berpikir jernih, dengan alasan klise, "Lagi emosi(onal) sih." Paling celaka adalah kalau alasannya, "Loh gue kan becanda?" Misalkan dibalik, bagaimana kalau dia yang dibegitukan mungkin jawabannya cerdas dan adil, "Gue kan baik, gak mungkin digituin. Kalo toh digituin, wajar dong kalo gue sebel." Hebat benar.  :P © Ilustrasi: tidak diketahui *) dan **): Kalimat dala contoh-contoh tadi hasil rekaan saya, bukan mencuplik dari Twitter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline