Di bulan Ramadan, salah satu menu yang kerap ditemukan terutama saat waktu berbuka adalah es buah dengan berbagai varian olahan.
Di rumah saya sendiri, menu es buah ini biasanya diisi dengan buah semangka, pepaya dan juga timun suri yang memang menjadi primadona di bulan Ramadhan.
Biasanya saya membuat sendiri es buah untuk menu berbuka ini karena tentunya bisa lebih irit ketimbang membeli di pasar atau penjual es buah.
Dengan banyaknya frekuensi membuat es buah di bulan Ramadan, maka pastinya akan menghasilkan sampah kulit buah yang cukup banyak.
Alih-alih dibuang, sampah kulit buah untuk es buah ini pastinya akan lebih berguna jika diolah kembali menjadi produk daur ulang berupa ecoenzyme yang namanya mungkin sudah cukup sering didengar.
Ecoenzyme merupakan larutan yang terbuat dari campuran kulit buah, gula merah dan juga air dengan perbandingan takaran 3 bagian kulit buah : 1 bagian gula merah : 10 bagian air yang kemudian ditutup dan didiamkan selama 90 hari atau 3 bulan.
Campuran dari 3 bahan ini akan menghasilkan cairan berwarna coklat keruh dengan butiran-butiran putih yang merupakan jamur hasil fermentasi dari bahan-bahan organik yang digunakan.
Jika sudah dipanen, ecoenzyme ini akan sangat membantu dalam berbagai pekerjaan rumah seperti membersihkan kompor dan juga lantai rumah.
Ecoenzyme sendiri dikembangkan oleh seorang peneliti dari Thailand yakni Dr. Rosukon Poompanvong pada tahun 2006.
Dalam prinsip pengolahannya ecoenzyme menggunakan terjadinya oksidasi tanpa ada udara atau fermentasi alami di mana alkohol merupakan produk utama jika fermentasi tidak sempurna sedangkan pada fermentasi sempurna produk utamanya adalah asam asetat.