Malam itu seperti biasa saya terbangun di dini hari. Begitu mata benar-benar terbuka, refleks saya cek handphone yang terletak tak jauh dari tempat tidur. Tidak banyak notifikasi yang masuk saat saya tertidur beberapa jam sebelumnya.
Saya kemudian mencoba membuka beberapa blog yang postingannya saya ikuti di grup blogwalking. Beberapa menit menunggu blog-blog tersebut tidak ada yang memunculkan tulisannya. Saya mulai kesal.
Setelah saya cek ternyata lagi-lagi sinyal provider yang saya gunakan menunjukkan huruf E dengan jumlah sinyal hanya 1 bar. Jelas sekali ini artinya saya tidak akan bisa menjelajah internet dengan sinyal seburuk itu.
Saya menutup akhirnya handphone, meletakkannya kembali ke meja dan bengong untuk beberapa saat. Apa yang harus kulakukan kalau internet lelet begini? Tanya saya dalam hati.
Di era digital seperti sekarang, internet memang sudah menjadi semacam kebutuhan pokok. Nyaris tidak ada kegiatan harian yang kita lakukan tanpa melibatkan internet di dalamnya.
Mau berkomunikasi pakai internet, cek pekerjaan buka internet, hingga urusan makan pun sekarang menggunakan internet. Bahkan mungkin aktivitas baca buku yang biasanya dilakukan orang saat berada di toilet sudah digantikan dengan browsing internet. Hehe.
Proses hadirnya internet dalam kehidupan kita tentunya tidak terjadi secara instan. Bagi para gen milenial seperti saya, termasuk yang cukup beruntung merasakan era di mana internet masih menjadi teknologi baru dan mahal untuk bisa dinikmati setiap hari.
Saya ingat dulu pertama kali berkenalan dengan internet ini di bilik-bilik sempit di warnet yang menjamur di kota awal tahun 2000-an.
Saat itu, untuk bisa mengakses internet, saya harus merogoh kocek 3.000 hingga 6.000 rupiah per jam dengan kecepatan yang mungkin hanya beberapa ratus kbps.
Belum lagi karena masih newbie, saat baru membuka browser eh saya langsung disuguhi gambar tidak senonoh dari website dewasa yang dibuka oleh pengunjung sebelumnya.