Sayup-sayup terdengar lagu lawas November Rain di tengah bunyi gemercik hujan memasuki bulan November ini di dalam kendaraan yang mengantar perjalanan santai kami menyusuri jejak-jejak kejayaan minyak Talang Akar Pendopo di jantung wilayah Sumatra Selatan..
Ketika sang waktu diputar ulang - kembali ke satu abad lalu, maka di akhir tahun 1921 itu Sumatra Selatan pernah menjadi sorotan dunia karena penemuan dua ladang minyak besar bernama Talang Akar (1922) dan Pendopo (1928) yang disebut terbesar di Nusantara bahkan di Asia Tenggara. Angka puncak produksi keduanya yang pernah dicapai adalah 43.800 barel minyak per hari di tahun 1954.
Minyak bumi menjadi komoditas perdagangan menggiurkan yang banyak dicari di dunia saat itu, seiring perkembangan masif revolusi transportasi dunia dengan kehadiran mesin pembakaran internal yang ditenagai oleh produk minyak bumi sebagai pengganti mesin uap.
Sejumlah publikasi sains dunia pun turut mencatat penemuan besar itu. Salah satunya adalah World Geography of Petroleum (1950) karya Wallace E. Pratt - geologis kenamaan perintis perminyakan Amerika dan salah seorang pendiri AAPG, menyebutkan tentang penemuan minyak Talang Akar Pendopo (TAP) di Indonesia dalam bukunya.
Kepulauan Indonesia memang memiliki keragaman dan karakteristik geologi sumberdaya mineral yang menarik untuk dipelajari. Di tahun 1921-1922 Universitas Michigan di Amerika, secara khusus mengajarkan mata kuliah geologi Indonesia yang diasuh Prof. H.A. Brouwer- guru besar tamu dari Universitas Delft Belanda. Brouwer pernah terlibat dalam ekspedisi geologi di hampir seluruh wilayah utama Indonesia termasuk daerah Sumatra.
Berkat minyak Talang Akar - Pendopo, Sanga-sanga, Tarakan dan sejumlah lapangan minyak lainnya di seluruh kepulauan nusantara maka status Indonesia (Dutch East Indies) pun terangkat menjadi produsen kelas dunia menempati urutan ke empat. Indonesia menyumbang sekitar 11 persen produksi minyak bumi global di sekitar tahun 1920-an, dua dekade sebelum minyak pertama dari semenanjung Arab ikut membanjiri pasar.
Namun yang membedakan dengan produsen minyak lain adalah mutu minyak Indonesia yang dikenal berkualitas baik (jenis ringan) dan memiliki kandungan sulfur yang rendah (sweet) sehingga banyak disukai pasar ekspor.
Buah kesuksesan itu pula membuat NKPM (perusahaan minyak pemilik konsesi TAP) menamai dua tanker miliknya dengan Talang Akar dan Pendopo.
Keunggulan produksi minyak Talang Akar Pendopo itu hanya bertahan hampir selama dua dekade saja. Memasuki masa kemerdekaan Indonesia produksinya berhasil disalip oleh lapangan kelas raksasa Duri (1941) dan Minas (1944) milik operator SOCAL-Standard Oil California (sekarang Chevron) di wilayah propinsi Riau.
Standard Oil Mencari Peruntungan Minyak di Indonesia
Semua berawal dari kedatangan grup Standard Oil New Jersey (SONJ) milik J.D. Rockefeller di bumi nusantara tahun 1912 dalam rangkaian ekspansi bisnis pencarian minyak global mereka. Di sisi lain bumi nusantara merupakan tempat lahir dan cikal bakal perusahaan minyak Royal Dutch Shell milik Belanda-Inggris yang sudah eksis dua dekade sebelumnya (1890) hasil mengakuisisi ladang minyak Telaga Tunggal milik juragan perkebunan tembakau A.J. Zijlker di Pangkalan Brandan. Kompetisi diantara keduanya pun tak terelakkan.