Lihat ke Halaman Asli

Zariul Antosa

LAKI-LAKI

Etnopedagogi dalam Kearifan Lokal Makan Bajambau di Daerah Kampar sebagai Pembelajaran Karakter di Sekolah Dasar

Diperbarui: 14 November 2022   08:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

ETNOPEDAGOGI DALAM KEARIFAN LOKAL MAKAN BAJAMBAU DI DAERAH KAMPAR SEBAGAI PEMBELAJARAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR

Meskipun saat ini kita sudah berada pada era kurikulum merdeka, muatan tentang potensi daerah setempat merupakan rujukan dalam pelaksanaan pembelajarannya, dimana salah satunya adalah kearifan lokal. Kajian empiris terhadap terhadap potensi budaya lokal menjadi salah satu sumber informasi dalam mengembangakan "modul ajar". Pembelajaran melalui Etnopedagogi diawali pada kurikulum 2013 melalui PERMENDIKBUD RI Nomor 79 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pembelajaran ditingkat dasar (SD, SMP, SMA) harus bermuatan lokal dan dintegrasikan sebagai bahan kajian dalam mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan.  Kearifan lokal adalah prinsip-prinsip atau cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dimaknai dan diaplikasikan oleh sekelompok masyarakat dalam melakukan integrasi atau interelasi dengan masyarakat lainnya dan cenderung ditransmisikan kepada generasi muda setempat dalam bentuk sistem nilai atau norma adat (Zulkarnain: 2008). Pendidikan yang memiliki muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal bermanfaat untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. Kearifan lokal sebagai bahan pembelajaran, apapun bentuknya tidak dapat disajikan diruang belajar dengan hanya melihat fenomena kearifan tersebut dengan mata telanjang, tapi guru harus memberikan penekanan dan pemaknaan terhadap hal-hal yang memuat nilai pendidikan pada kearifan lokal sesuai dengan tuntutan nilai-nilai yang dipelajari pada masa sekarang. Alwasilah at.al (2009) mengatakan kearifan lokal adalah potensi yang mesti diberi tafsir baru agar fleksibel untuk menghadapi tantangan zaman melalui pencerahan kepada siswa berakitan dengan 1) pengalaman empiric pelakunya; (2) ketrandalan kearifan secara empiric yang telah digunakan masyarakat selama bertahun-tahun; (3) kemampuan adaptifnya terhadap budaya modern; (4) keterkaitannya dengan kehidupan manusia secara pribadi dan komunitasnya; (5) kedinamisan; dan (7) keterkaitan dengan sistem kepercayaan. Tujuan penerapan etnopedagogi dalam pembelajaran bermanfaat untuk membuat kaitan materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari dalam melestarikan dan mengembangkan keunggulan serta kearifan daerah dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Pembelajaran dengan berorientasi pada etnopedagogi saat ini penting untuk diterapkan dalam rangka membina kebinekaan budaya mengingat Indonesia adalah negara multikultur yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan etnis yang tentunya memiliki budaya yang berbeda-beda.

Makan bajambau adalah tradisi makan bersama masyarakat Kampar yang biasanya dilakukan secara bersama sama dalam rangka memperingati hari besar, memasuki bulan ramadhan, atau menerima tamu kehormatan. Makan bajambau merupakan satu tradisi makan bersama-sama yang dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terikat dengan sekat-sekat sosial. Seluruh anggota masyarakat, anak-anak, orang dewasa, pedagang, pejabat pemerintah, ninik mamak, alim ulama, duduk bersama dalam jamuan makan menghadapi hidangan yang disediakan secara ikhlas oleh masyarakat. Tradisi makan bajambau di Kampar identik dengan tradisi makan bajamba yang ada di masyarakat Bukittinggi pada budaya Minangkabau di Sumatera Barat. Menurut H. Khaidir Yahya Dt. Paduko Ulak B.Sc (memangku jabatan sebagai Kepala bagian Hukum dan Humas Lembaga Kerapatan Adat Kampar (LAK) Kabupaten Kampar), mengatakan makan bajambau merupakan tradisi yang dilakukan bila ada kegiatan kemasyarakatan atau acara makan bersama dirumah penduduk pada Intinya makanan dihidangkan secara "bajambau" dan di makan bersama dalam satu hidangan jamuan. (berita R.TV You Tube). Jambau diartikan sebagai peralatan tempat makanan siap santap  yang biasanya berbentuk talam (tolam) atau dengan dulang berkaki. 

Dulang bakaki (nampan berkaki)

dokpri

Talam (nampan) dan rantang

Jambau berisikaN makanan yang sudah ditata sedemikian rupa dengan makanan lalu ditutup dengan menggunakan tudung saji yang terbuat dari pelepah pinang dan diberi hiasan. Keunikan makan bajambau ini terdapat pada prosesi penyiapan acara, penyiapan makanan dan acara makan bersamanya itu sendiri. Dalam merencanakan kegiatan bajambau masyarakat berkumpul bersama di mesjid besar kampong, dan dihadiri oleh kaum laki-laki, dari tokoh agama, pemerintah, mayarakat dan pemuda untuk bermusyawarah membentuk kepanitiaan kegiatan. Perwakilan kaum perempuan hanya beberapa orang saja yang terkait dengan pengelolaan kosumsi rapat dan penyajian jambau pada hari pelaksanaan acara. Dalam musyawarah ini kepanitiaan dipilih dari orang-orang yang diyakini masyarakat dapat mengemban tugas sesuai dengan jenis kegiatan yang akan dilakukan. Kepanitiaan akan disusun sedemikian rupa walaupun orang-orang yang bersangkutan tidak hadir pada musyawarah tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya tanggung jawab sosial yang besar yang mendorong masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan makan bajambau ini yaitu adanya rasa malu/aib/pamali yang besar jika tidak ikut berperan serta dalam tradisi bajambau. Berkaitan dengan prosesi penyiapan makanan, untuk kegiatan makan bajambau mengutamakan, jenis sayuran, lauk pauk dan makanan pendamping, serta peralatan yang dibutuhkan semuanya bersumber dari kekayaan daerah setempat. 

dokpri

dokpri

Ragam Hidangan yang bersumber dari potensi daerah sendiri


Selanjutnya dalam acara puncak kegiatan secara sadar masyarakat akan memilih tempat duduk sesuai dengan posisi dulang makanan/talam/rantang yang telah diatur oleh panitia. Pengaturan posisi duduk dikenal dengan duduk berapak, memiliki tata aturan yang khas dan diikuti secara bijaksana oleh peserta sesuai dengan status sosialnya di masyarakat. Posisi jambau menandai posisi duduk peserta makan bajambau. "Dulang berkaki itu tempat duduknya tokoh agama, adat, pemerintah, "talam" merupakan tempat duduknya remaja serta rantang tempat duduknya anak-anak. Hal ini menyiratkan bentuk penghormatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (2009), tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat pada sebuah peristiwa budaya, murni seperti yang dilakukannya, melainkan disana selalu ada nilai atau makna simbolik yang tersembunyi dibalik peristiwa tersebut. Keunikan-keunikan pada kegiatan makan bajambau di atas dapat dilihat sebagai perwujudan nyata dari nilai-nilai karakter yang secara transenden tersimpan dibalik kearifan budaya makan bajambau masyarakat Kampar tersebut.

Merujuk kepada pendapat Alwasilah, dalam kegiatan pembelajaran guru tinggal mengkonstruksi dan menafsirkan fakta-fakta empiric maupun simbolik yang terdapat dalam tradisi bejambau sebagai media dalam memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah. Guru tidak harus mencari-cari nilai "karakter apa" yang harus diajarkan. Melainkan dengan menerapkan azas belajar merdeka, dalam kegiatan berfikir kritis, kreatif, dengan mengamati, menanya, menalar yang dilakukan siswa, guru tinggal memberi penguatan atau memberikan tafsiran bahwa dalam tradisi masyarakat setempat terdapat nilai-nilai karakter.

Beberapa nilai karakter yang terdapat pada tradisi makan bajambau adalah sebagai berikut

Karakter

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline