Lihat ke Halaman Asli

Anton Widyanto

Dosen, peneliti, pegiat seni dan sastra.

"Jarban": Si Ngeri-ngeri Sedap

Diperbarui: 14 November 2016   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kata “jarban”adalah istilah yang sangat populer di pesantren saya dulu. Istilah dalam bahasa Arab tersebut bermakna dasar “cobaan”.

Pertama kali saya mengenal istilah jarban, ketika tubuh saya merasakan gatal-gatal di masa-masa awal masuk pesantren (kelas 1). Gatal yang menyiksa itu tidak hanya menyergap bagian luar badan seperti jari tangan, akan tetapi juga merambah bagian dalam  tubuh, seperti pinggang, bahkan selangkangan. Ketika Anda terkena jarban, rasa gatal yang luar biasa akan segera menyerang tanpa kenal waktu. Gatal itu akan terasa terobati ketika digaruk. Rasanya memang enak, atau istilahnya: “geli-geli gimana gitu”. Tapi waspadalah, itu hanya pancingan sesaat. Sebab ketika Anda garuk, maka hasil garukan itu akan menyebarkan jarbanke tempat-tempat lain di tubuh Anda.

Jarban, memang cepat sekali menular. Bak penyakit flu, dia akan berpindah dari satu orang ke orang yang lain. Satu hal yang pasti, kalau sudah musim jarban, bagian klinik kesehatan pesantren akan kebanjiran pasien. Antriannya bisa berjubelan karena mencari obat.

Di antara penyebab utama jarban  adalah terkait dengan pola kebersihan yang sering diabaikan oleh santri di pesantren saya dulu. Meskipun setiap Jumat diadakan gotong royong massal untuk membersihkan berbagai tempat di pesantren mulai dari kamar tidur, kamar mandi, sampai selokan, dsb, akan tetapi karena budaya kebersihan belum merasuk menjadi tradisi, si jarban pun  biasanya akan selalu datang dan datang lagi.

Alhamdulillah, dewasa ini saya menyaksikan sudah banyak pesantren yang peduli dengan kebersihan lingkungan, seperti yang saya lihat di pesantren anak saya sekarang. Kondisinya jauh lebih baik dibanding saya dulu.

Bagi saya, jarban, adalah bagian dari pembelajaran budaya dan mental. Penyakit apapun jenisnya, tentu ada sebab musababnya dan pasti ada obatnya (li kulli da’in, dawa’), karena itu jangan hanya sekali terkena jarban langsung menyerah, letoy, ngambek, patah arang,  atau bahkan memutuskan menyerah belajar di pesantren.

#CuilanKisahPesantren11

I’tibar:

Kebersihan lingkungan dan kebersihan individu secara lahiriah masih menjadi isu yang penting untuk diperhatikan lembaga pendidikan pesantren/dayah..Bagaimanapun juga kebersihan lahiriah yang mentradisi dan menjadi budaya, secara langsung ataupun tidak, akan dapat menunjang tercapainya kebersihan batiniyah yang selama ini menjadi salah satu aspek penting yang ingin dicapai oleh dunia pendidikan pesantren/dayah.  

“Apapun kekurangan dan kelebihan yang dimiliki pesantren, saya tetap bangga dan bersyukur pernah menjadi seorang santri” (Anton Widyanto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline