Mungkin tulisan ini akan terasa basi ketika sampai di tangan pembaca. Tapi apa saya lantas berhenti menulis karena alasan basi itu. Tidak mungkin, hehe. Hal ini bukan urusan basi atau tidak basi kawan tapi lebih kepada alasan rasional. Pertama, jika saya tidak menulisnya, maka memungkinkan kegelisahanku tidak tersolusikan karena saya butuh masukan dari kalian. Kedua, jikalau tulisan ini tidak saya bagi, mungkin saja pemikiranku ini belum terpikirkan. Ups, mulai sombong nih.
Kalian tentu ingat aksi demo dari masyarakat Indonesia sebagai aksi penolakan kenaikan BBM. Begitu beringasnya massa mengekspresikan penolakannya. Demo yang serentak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia ini menyebabkan berbagai kekhawatiran. Sebagian melakukannya dengan membakar sana-sini. Ada pula yang menghadang pengguna jalan yang entah apa maksud dari ekspresi mereka ini. Namun aku bersyukur bahwa demo ini tidak berujung seperti halnya yang terjadi pada tahun 98, karena jika itu terjadi maka kita menyia-nyiakan waktu dan usaha yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Reformasi.
Sejenak saya tinggalkan rasa simpatikku terhadap aksi-aksi anarkis tersebut. Hal yang seharusnya menjadi fokus kita adalah apa alasan yang paling mendasar sehingga aksi anarkis itu tidak terelakkan lagi. Menjawab persoalan sebenarnya mudah dan saya yakin kita juga pernah memikirkannya. Tahap awal akan saya kiaskan masalah demo anarkis ini dengan bayi.
Bayi adalah sebuah fase dari rangkaian perkembangan manusia. Bayi adalah fase yang paling gampang untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan saya di atas. Coba diperhatikan ketika bayi membutuhkan sesuatu, apa yang dia lakukan? Seorang ibu tahu pasti jawabannya. Ketika bayi kehausan atau kepanasan, dia akan mulai gelisah. Seorang ibu yang baik akan mengerti dan kemudian memberikannya asi. Namun ada sebagian ibu yang lain memilih untuk mengacuhkannya. Akhirnya sang bayi mencari cara lain agar ibunya mengerti bahwa dia perlu diperhatikan, yaitu dengan cara menangis. Jika dengan menangis belum cukup merebut perhatian sang ibu, sang bayi akan mencoba cara lainnya. Awalnya dengan menangis kemudian dengan menggerak-gerakkan tangan dan kakinya (memukul-mukul). Jikalau hal ini pun akhirnya tidak dapat mengalihkan perhatian sang ibu kepada sang buah hati (karena bersamaan dengan sinetron kesukaannya), maka sang buah hati akan mencoba dan mencari cara yang lebih ekstrim agar sang ibu memperhatikannya, sebagai contoh dengan berguling-guling sambil menangis. Maka dari itu jangan heran ada anak yang ketika meminta sesuatu atau memerlukan perhatian, dia melakukannya dengan berguling-guling sambil menangis. Tentu anda tahu alasannya mengapa hal itu dilakukan oleh sang anak. Dalam paradigma mereka meyakini bahwa hanya dengan cara ini mereka dapat merebut perhatian sang ibu. Banyak reaksi yang dilakukan oleh anak ketika membutuhkan sesuatu. Terkadang melakukannya dengan cara menyubit, berteriak, cemberut dan lain-lain. Reaksi-reaksi yang dilakukan anak menjadi gambaran seberapa besar perhatian ibu kepada anaknya. Jikalau ada anak yang ketika butuh sesuatu hanya perlu dengan berbisik dan berkata pelan, ini mengindikasikan bahwa ibunya seorang pendengar yang baik, begitu juga sebaliknya.
Permasalahan demo anarkis sebagai reaksi dari akan naiknya harga BBM tidak banyak berbeda dengan masalah anak. Mereka hanya butuh perhatian saja. Mereka menginginkan agar pemerintah menoleh sejenak dan mendengarkan keluhannya bahwa Kami semua kelaparan. Banyak dari kami belum hidup layak. Sebagian dari kami tidak mendapatkan hak kami, yaitu pendidikan yang bermutu. Kami hanya berkeinginan agar pemerintah memberikan satu hari saja dari seminggu untuk memikirkan kami. Menaikkan harga BBM bukan solusi untuk memerdekakan kami dari kelaparan dan kemiskinan. Sebenarnya itu saja yang kami inginkan. Adapun aksi anarkis kami itu sebagai usaha untuk merebut perhatian pemerintah. Andai kata celoteh dan curhatan kami dengan nada pelan didengarkan, tentunya tidak perlu lagi kami melakukan hal anarkis itu.
Namun demikian, aksi anarkis apa pun alasannya tetap tidak dibenarkan. Banyak pihak yang akan dirugikan disebabkan aksi anarkis. Alangkah lebih baik jika energy besar dari emosi itu digunakan kepada hal-hal yang positif, tentunya banyak perubahan positif yang akan terjadi. Sebagai contoh jika seandainya emosi itu digunakan untuk melakukan hal-hal kecil namun berdampak positif pasti akan banyak merubah keadaan rakyat Indonesia. Seperti halnya yang dilakukan beberapa kawasan kumuh di Jakarta dengan mengelola sampah. Pemisahan sampah kering dan sampah basah. Sampah basah dikembangkan menjadi pupuk kompos, sedangkan sampah kering bisa digunakan untuk bahan kerajinan seperti tas, dompet dan lain-lain. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H