Lihat ke Halaman Asli

Empati atau Mati

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah lewat sepekan tragedi maut Tugu Tani yang memilukan banyak pihak tersebut terjadi, sembilan orang korban meninggal akibat tertabrak mobil yang dikemudikan oleh Apriani Susanti. Banyak tanggapan dari berbagai kalangan. Sebagian memilih untuk menghujat kecerobohan Apriani dan teman-temannya, bahkan sebagian banyak menuntutnya untuk tidak tinggal lagi di dunia ini, aksi ini mereka sebut Gerakan Tuntut Apriani Dihukum Mati yang kini sudah mencapai angka 8.882 orang follower. Seseorang memanfaatkan pula kejadian ini dengan membuat akun facebook mengatasnamakan Apriani dengan akun Alfriani dan sebagian lain memilih diam, bingung akan bertindak apa menanggapi kejadian itu. Sedangkan polisi memilih untuk tetap menyelidiki kasus ini.

Terlepas dari hiruk-pikuk permasalahan di atas, satu hal yang hilang pada diri kita ketika menghadapi peristiwa tersebut, yaitu empati. Hujatan yang terlanjur terucap, gerakan tuntut mati dan lain sebagainya merupakan bukti dari terpendamnya rasa empati itu ke dasar bumi. Saya tidak bermaksud membela tindakan yang telah dilakukan Apriani karena dia pun melakukan kesalahan dengan mengkonsumsi barang yang jelas-jelas dilarang yang dapat menghilangkan konsentrasi, narkoba, dan pada akhirnya terjadilah kecelakaan tersebut. Namun saya mengajak pembaca sekalian untuk memandang Apriani sebagai manusia biasa yang kadang kala dapat melakukan kesalahan dan dapat pula melakukan kebenaran. Artinya kita pun dapat berkesempatan melakukan kesalahan serupa dengannya. Tidak kemudian menghujatnya sebagai makhluk pengambil nyawa orang, tidak berperasaan dengan tidak meminta maaf sedikitpun, orang yang dikirim dari neraka untuk membunuh kesembilan pejalan kaki di Tugu Tani, dan hujatan-hujatan pedas lainnya. Coba bayangkan bagaimana sesaknya Anda ketika mendengar cercaan tersebut, namun saya juga tidak menampik bahwa kesedihan yang sangat juga menemani hari-hari keluarga korban-korban meninggal dari kecelakaan tersebut.

Kembali pada rasa empati. Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain (Baron & Byrne, Psikologi Sosial Jilid 2, Jakarta: Erlangga, 2004, hal. 111. Diambil di http://id.wikipedia.org/wiki/Empati.). Intinya menjadi diri orang lain untuk lebih memahaminya, tidak melulu egois dengan mengharapkan orang lain harus setuju dengan kita dan orang lain harus sama dengan kita. Kalau pun ini yang kita harapkan, apalah gunanya Allah menciptakan beragam makhluk? Mengapa Allah tidak hanya menciptakan kita atau anda saja?

Jangan mengecilkan empati ini karena dampaknya luar biasa. Anda tidak percaya? Akan saya ungkapkan beberapa fakta yang membuktikan dahsyatnya empati ini(maaf untuk inbox, sementara tidak saya sebutkan karena dimensinya berbeda dan lagi pula tidak akan cocok kalu saya menggunakannya, hehehe). Anda pasti ingat dengan dua bencana besar yang melanda bumi kaya rempah ini, tsunami di Aceh dan meletusnya Gunung Merapi, bagaimana empati seluruh masyarakat dunia terhadap musibah ini dengan cepat mengembalikan semangat hidup kawan-kawan kita di daerah tersebut meskipun dampak bencana masih teringat. Empati juga yang membawa ibu Sri Utami mendirikan RS Mojosongo, sebuah Rumah Sakit di Solo dengan biaya ringan dan dapat dijangkau oleh masyarakat kurang mampu. Berbekal empati kepada masyarakat kurang mampu, beliau bekerja keras bersama suami untuk membangun Rumah Sakit yang pada awalnya berupa klinik. Dorongan empati juga yang dapat membuat seorang ibu paham akan apa yang dipikirkan anaknya, dengan begitu akan meminimalisir kesalahpahaman di antara keduanya seperti kasus Rufita, yang begitu sampai hati meminta ibunya untuk melakukan tes DNA demi memastikan pertalian darahnya. Berkat empati pula seorang kekasih dapat memahami kemauan pasangannya, tidak melulu hanya menikmati kesenangan sesaat seperti gaya pacaran saat ini. Empati akan menghantarnya dalam tindakan yang benar menurut agama dan adat untuk selalu menjaganya dan tidak melakukan hubungan badan hingga disahkan melalui pernikahan. Bahkan seorang entrepreneur dapat melejitkan penjualannya dengan berbekal empati,. Empatinya dapat mengetahui keinginan dan kebutuhan pasar, sehingga barang atau jasa yang dia produksi diterima dan laku di pasaran.

Kembali lagi kepada masalah Apiani yang sampai saat ini masih dihujani hujatan dan hinaan. Berempatilah kepadanya, biarkanlah proses hukum yang menentukan bagimana nantinya. Kita juga bisa mempraktikkan empati ini dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita sehari-hari, maka anda akan merasakan alam serasa bergoyang, dentang jam serasa melambat, senyum tersungging sebagai tanda mengiyakan perbuatan baik kita. Selamat berempati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline