Lihat ke Halaman Asli

anton

Mahasiswa S2 Kajian Sejarah FISIP UNNES, Guru SMA

Peran Bahasa dalam Pemberantasan Korupsi Sistemik

Diperbarui: 26 Februari 2023   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustration by Connor Lawless

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa salah satu masalah akut di negeri ini adalah persoalan korupsi. Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2021 tercatat ada 484 kasus tindak pidana korupsi. 

Pada periode 2004-2021, (KPK) telah menangani sekitar 5.299 kasus korupsi dengan 3.092 di antaranya sudah diputuskan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 terdapat 37.325 kasus korupsi di Indonesia yang tercatat di kepolisian. Adapun menurut International Corruption Watch (ICW), pada 2021 terdapat 678 kasus korupsi di Indonesia yang tercatat di berbagai instansi.

Yang menjadi catatan adalah dari semua upaya pemberantasan korupsi, pemerintah kita masih bersifat struktural, teknis, belum sampai pada ranah yang lebih hegemonik dan massif. Pemberantasan korupsi bukan hanya soal pembentukan lembaga dan bongkar pasang lembaga. Pemberantasan korupsi bukan pula disandarkan pada kemauan rezim dalam arti jangka pendek. Korupsi sebagai musuh bersama harus diberantas sampai ke akar-akarnya lintas generasi.

Pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kegagalan disebabkan karena kompleksnya persoalan. Beberapa diantaranya yakni tidak adanya komitmen politik yang kuat, penegakkan hukum yang lemah, lemahnya transparansi dan akuntabilitas, lemahnya dukungan dan kesadaran masyarakat. Lingkaran setan inilah yang menghambat proses pemberantasan korupsi, sehingga dibutuhkan upaya yang lebih mendasar dan menyentuh sisi kultur manusianya.  

Sebanyak apapun lembaga pemberantas korupsi dibentuk, justru tidak akan memberikan solusi, karena korupsi di Indonesia sudah masuk tingkatan korupsi sistemik. Bahkan justru pembentukan lembaga tersebut akan menjadi lahan baru bagi koruptor untuk memeras pihak lain. Bukan berarti menegasi peran lembaga pemberantasan korupsi, namun harus juga didukung sesuatu yang lebih mendasar yakni mentalitas.

Negara harus menciptakan situasi mental dimana tindakan korupsi adalah perilaku yang memalukan. Seorang Filsuf Italia Antonio Gramci (1897-1937) melalui karya fenomenalnya (Prison Notebook) mengatakan bahwa kendali sosial bukan hanya terbentuk dari penguasaan aspek politik dan ekonomi semata, namun perlu adaknya kekuasaan kultural. 

Menurut Gramci, kekuasaan kultural ini terbentuk melalui pengendalian media, pendidikan, dan budaya, sehingga mempengaruhi cara pandang dan pola pikir masyarakat. Diperlukan cara kultural untuk memberantas perilaku korupsi.

Bahasa dan perubahan masyarakat

Salah satu strategi kultural yang mampu mempengaruhi mental masyarakat dari waktu ke waktu adalah bahasa. Berkaca pada pengalaman rezim Orde Baru (1966-1998), bahasa memiliki peran yang besar dalam menopang kekuasaanya. 

Tentunya untuk menciptakan situasi mental masyarakat, diperlukan cara-cara kultural yakni dengan memakai diksi-diksi yang menggiring kepada tujuan atau program yang akan dicapai. Orde Baru sangat selektif menggunakan diksi-diksi tertentu dalam komunikasi ke masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline