Lihat ke Halaman Asli

Bidadari Terminal #1

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SUNGGUH! Aku bukan orang sableng. Bukan pula wong gendeng yang berbicara tanpa makna kesana kemari tak kenal arah. Juga bukan pengandai-andai yang panjang angan tanpa memprediksi ke depan apa yang harus dan bisa dilakukan.Sumpah, aku ini mudeng. Ini hanyalah masalah perasaan. Masalah hati. Kegundahan nurani seorang lelaki yang hampir berumur kepala tiga tetapi belum pernah satu gadis pun yang sudi singgah di pelataran pelabuhan ini punya hati. Padahal aku ini tidak jelek-jelek amat. Setidaknya bila di bandingkan dengan pasien face off yang belum sempurna tatanan wajahnya.

Sekali lagi, ini cuma perasaan hati. Apalagi kalau bukan perasaan yang kalau di dalam roman-roman picisan disebut perasaan…, ah sebenarnya malu aku mengungkapkannya, ya… ini perasaan cinta. Tapi apakah benar-benar ini murni perasaan cinta? Tanpa ada embel-embel syahwat di dalamnya? Tanpa ada kadar nafsu menyelinap di ini punya jiwa? Entahlah.

Yang jelas, tatkala ia berlalu di depan mataku, semua detak waktu, iringan urusan, lalu lalang jejelan manusia, seakan berhenti begitu saja tanpa ada yang mengkomando. Berhenti serentak dari mereka semua punya gerak. Pun tak kalahnya, cairan dalam tubuhku serasa membeku. Lidah terasa kelu, juga segala persendian terasa ngilu. Apakah seperti ini kalau seseorang sedang dirundung mendung perasaan jatuh cinta?

Dengan tatapan ringan, ia memandangku sekilas. O, wahai jiwa, indah sekali ia punya mata. Sejuk matanya seakan seperti basuhan rintik-rintik hujan di padang ilalang yang memerah terkena belaian sinar matahari jingga di ufuk barat sore hari. Lihat, lihatlah ia punya tubuh. Seperti pahatan sang maestro ukir dari Yunani kuno yang pernah memahat patung Plato. Sempurna, tiada cela.

Mati aku, ia berjalan menuju ke arah sini, ke arahku. Langkahnya seperti ratu ayu putri kerajaan bertathakan perhiasan mahkota, begitu gemulai. Karuan saja, detak jantung ini dibuat berdegup meletup kencang karenanya. Aku benar-benar tak berani menatapnya secara langsung. Hanya memandangnya sekilas, lalu tertunduk pura-pura tak sadar akan kehadirannya menujuku. Sialan, aku benar-benar belum siap. Keringat dingin tak terasa mengucur deras di kepala ini punya dahi. Tolong, tolong jangan sekarang. Aku benar-benar belum siap. Beri aku kesempatan barang sedetik lagi.

“Selamat siang, mau pesan apa mas?”

“Ehm…mmm…i..i..i..ini, nasi gudeg satu sama es the manis ada ‘mba?” Tanyaku gugup.

“Nasi gudeg satu plus es the manis. Mmm, Nasi gudegnya yang spesial apa yang biasa?”

“Yang biasa saja ‘mba!”

“Nasi gudeg sama es the manis satu. Semuanya enam ribu Rupiah. Ada lagi yang bisa saya Bantu?” tanyanya.

“Tidak, terima kasih”

‘Ada lagi yang bisa saya bantu?’ Duuhh, sungguh pertanyaan yang membuat aku ketar-ketir karenanya. ‘…yang bisa saya bantu?’ tentu saja ada! Kalau saja aku bukan dilahirkan di bangsa yang terkenal penuh basa-basi ini, pasti langsung aku jawab ada! Ya, ada! Tolong bantu temani sosok yang lemah dan hina ini menuju taman bunga bertahtakan lembayung senja perhiasan cakrawala barang satu sore saja.

Ternyata, di tengah-tengah hiruk pikuk semrawutnya terminal Lebak Bulus. Dentuman klakson mobil para sopir angkot yang saling serobot berburu penumpang, bentakan timer terminal pada sopir yang urung membayar uang retribusi, lengkingan peluit polisi yang setengah putus asa demi mengatur lancarnya jalan laju lalu lintas, dan semburan debu asap knalpot kejam dari bus-bus dalam dan antar kota, terselip seorang bidadari khayangan di dalam sebuah warung nasi pinggiran jalan keluar terminal.

Mengapa Tuhan sampai begini tega membiarkan sesosok bidadari-Nya terjatuh dari khayangan menuju terminal dan terpanggang di teriknya matahari yang panasnya sampai mengoyak ubun-ubun kepala ini? Adakah bidadari itu telah melakukan dosa yang sedemikian berat seperti yang di lakukan Adam tatkala memetik buah ‘terlarang’ di taman Firdaus? Aku jadi heran bertanya-tanya. Tapi apa balas sikapnya? Ia hanya tersenyum ringan. Sambil sesekali menyeka peluhnya, ia membawakan pesanan para sopir ‘jahanam’ yang sesekali menggoda, dan bersiul-siul iseng kepadanya.

***

Aku akui, sejak beberapa minggu yang lalu, sejak aku beralih profesi 180 derajat dari mahasiswa ekonomi menjadi kernet salah satu angkutan metro mini yang juga karena alasan ekonomi, mata ini begitu sulitnya dipejamkan bila membayangkan sosok anggunnya. Tidak enak makan selain makan di warungnya, tak nyaman berteduh melepas peluh selain bersandar di pelataran warungnya, juga tak nikmat me-nyeruput kopi hangat selain memesan di warungnya pula. Bagiku warungnya adalah segalanya. Apalagi kalau bukan ada sesosok bidadari yang bersemayam di dalamnya. Dan sebenarnya mungkin juga karena keberadaan dialah, salah satu alasanku masihbisa bertahan di arena pertarungan gulatan nasib terminal ini.

[caption id="attachment_211835" align="alignleft" width="180" caption="http://duniazaki.blogspot.com/"][/caption] Guratan wajahnya benar-benar polos tanpa balutan serbuk kimia yang senantiasa menempel pada wanita-wanita yang sering kujumpai di dalam angkutan. Terutama para remaja putri atau juga para karyawati yang hendak pergi ke kantornya masing-masing di pagi hari. Ia berbeda, benar-benar berbeda. Walaupun kaus atau bajunya sedikit kumal terkena semburan debu atau asap knalpot bus-bus raksasa antar kota, kecantikan dan keayuannya tidak bekurang walau sedikit pun.

Lama aku memperhatikannya. Walau perut ini terasa demikian keroncongan menunggu makanan yang aku pesan tadi belum juga datang, rasanya aku akan tetap setia menunggu, menunggu, dan menunggu dua bola mata ini diizinkan untuk terus menatap sosoknya.

Ah, Narsih, begitu agung namamu bersemayam di relung ini punya jiwa. Narsih, sebuah nama yang kutahu bukan dari yang punya nya sendiri, melainkan dari informasi yang kudapat melalui salah satu sopir langganan warungnya. Aku tidak berani menanyakannya secara langsung karena semata merasa diri belum pantas untuk bertatap dan bersua secara langsung padanya.

Nyali yang biasa digunakan untuk menggeretak para penumpang yang berjejal di pintu metro miniku, seolah menjadi ciut layaknya pencopet terminal amatiran yang tertangkap tangan dan hendak di amuk massa. Aku menjadi begini ciut, pengecut di hadapannya.

Akhirnya, santapan yang kutunggu-tunggu datang juga. Sekali lagi, ia mendatangiku dengan segenggam senyum. Aku sadar, senyum itu sepenuhnya bukan hanya di peruntukkan untuk ku saja. Tetapi sebagaimana kebiasaannya mengantarkan pesanan kepada siapa saja, ia selalu membawa segenggam senyumnya itu.

“Ini, silahkan di cicipi mas.” Serunya sambil meletakkan sepiring nasi gudeg dan segelas es the manis di hadapanku. Begitu tololnya aku dikuasai amuk badai perasaan kikuk sehingga tidak mampu membalas senyumnya. Aku hanya terdiam tanpa ekspresi sambil mengucapkan sedikit terima kasih padanya yang segera berlalu dari hadapanku karena pekerjaan yang lain segera menyapanya seolah tak kenal lelah.

Ah, seolah perasaan lelah setelah narik seharian penuh antar terminal Lb. Bulus – Senen, dengan sekelebat hilang begitu saja disapu senyumnya. Sungguh hebat memang perasaan cinta. Ia dapat menyapa siapa saja. Tak peduli siapa dan dimana para ‘penghamba’ itu berada. Para pejabat, artis, konglomerat, bahkan untuk sekelas kernet diriku pun tak lepas dari panah sang cupid. Memang benar seutas kata mutiara yang pernah kubaca dari buku sewaktu aku masih kuliah dulu. Barang siapa yang mencintai sesuatu, maka ia adalah hamba dari sesuatu itu.... (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline