"Dengan memperluas visi, maka "kedalaman"-pun akan menyesuaikan diri; begitu juga sebaliknya".
Adagium di atas, sangat cocok untuk menggambarkan strategi pencapaian tujuan dari pembelajaran sejarah. Selama ini, carut-marut atau silang-pendapat, yang terkontaminasi kepentingan kelompok, telah mem-buntu-kan upaya pembelajaran aspek "kedalaman" sejarah.
Kebuntuan itu adalah karena "cadas keras" kontradiksi berkepanjangan yang membuat pelajaran sejarah jadi dangkal dan juga sempit. Kita seperti tersihir (fiksasi) untuk selalu mencermati "cadas keras" tersebut dari beragam dimensi, juga dengan detil serinci mungkin, dan akhirnya lupa atau bahkan enggan untuk menggali "kedalaman" sejarah; apalagi memperluas cakrawalanya. Singkat kisah, sejarah apapun pastilah lumpuh dan kalah oleh konflik ideologi pembungkus rasa permusuhan, kebencian dan ketakutan.
"Selihay" apapun si pengajar ilmu sejarah, ia akan (segera) mati beku dihadapan hantu ideologis kebencian (dan ketakutan); karena "horror" akan membuat setiap orang (pembelajar dan pengajar) "menciut" ; jadi dangkal dan sempit.
Satu-satunya cara untuk mengatasi orang yang ketakutan (kebencian), adalah dengan melenyapkan (sementara waktu) obyek atau subyek yang jadi sumber ketakutan (kebencian); sebelum langkah "shock-therapy" dipertimbangkan.
Tapi realitasnya, ketakutan dan kebencian kita memang sudah terlanjur parah; buktinya, tawaran penyisipan mapel sejarah pun masih disalah-artikan. Padahal, tujuan penyisipan mapel adalah agar kita dapat keluar sejenak dari lubang gali kebuntuan; sehingga pandangan (kita) pun tertebar meluas. Keluasan visi, diharapkan, dapat mencerahi kita untuk kembali mensiasati kebuntuan di ranah kedalaman.
Pernyataan ibu Sukmawati bahwa PKI adalah Pancasilais, jelas merupakan bagian dari strategi terapi kejut (yang layak diungkapkan). Kita kian kaget ketika sejarawan LIPI, bapak Asvi pun mulai meneguhkan pernyataan ibu Sukmawati bahwa memang PNI dan PKI lah yang mendukung pancasila dalam sidang konstituante tahun 1957; bukan partai Islam.
Selama ini, fakta kebenaran itu kita peti es kan, bahkan para pakar sejarah pun tidak ada yang "berselera" untuk mengungkapkannya. Bukan karena alasan bahwa mereka (para pakar sejarah) tidak tahu, melainkan karena alasan strategi; "Apa gunanya menebarkan garam di tengah samudera kebencian dan ketakutan?"
Penulis yakin, seandainya bapak Abdurahman Wahid masih hidup pun, beliau pasti akan mengungkapkan atau, setidaknya, menyetujui pernyataan ibu Sukmawati di atas.
Waktunya telah tiba, untuk membuka cakrawala keluasan yang selama ini seperti teredam dinding kokoh "buatan" demi kenyamanan ilusi mayoritas karya cipta orba. Harapan penulis, "sodokan keras" ini dapat membangunkan kesadaran kita dari tidur panjang ketimpangan makna sejarah.
Bagaimanapun, "sejarah bukan hanya diciptakan, tapi juga menciptakan manusia". Selama ini kita hanya sibuk dengan sejarah hasil ciptaan (orba), dan lupa untuk menggali cara bagaimana agar sejarah dapat menciptakan manusia (seutuhnya).