Lihat ke Halaman Asli

Purbo Iriantono

Jalani inspirasi yang berjalan

Pentingnya Keseimbangan Pola Pikir Atomistik dan Organismik dalam Sejarah Kontemporer

Diperbarui: 29 September 2020   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Di ranah ilmu sosial, ada dua golongan besar metoda berpikir, yakni berpikir secara historis (empiris, atomistik) dan ahistoris (rasionalis, struktural organik). Untuk lebih sederhananya, metoda keilmuan dengan pendekatan non-bahasa, seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu sosial teoritis dan juga sejarah (meskipun ilmu sejarah teoritis "kontemporer" juga mulai memadukan kedua metoda berpikir ini), lebih menonjolkan metoda berpikir secara atomistik (empiris, historis); sedangkan metoda keilmuan dengan pendekatan bahasa, seperti yang diterapkan oleh para pembelajar bahasa (sastrawan, seniman) dan pembelajar ilmu sosial-politik terapan, lebih menonjolkan metoda berpikir secara organismik (struktural, ahistoris/kekinian).

Yang selalu ditonjolkan oleh para penganut  atomistic  (THINGS)  ini adalah "klaim"  -nya pada pengetahuan tentang  "asal-usul" (Sangkan Paraning). Dalam sejarah pemikiran, filosofi atomistik ini memunculkan dua aliran besar, yakni aliran empiris (tokoh terkemukanya adalah Locke, Berkeley dan Hume), dan aliran rasionalis ( tokoh utamanya, antara lain Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Kant).

Para penganut empiris percaya bahwa pengetahuan (tentang dunia) itu bersifat langsung (IMMEDIATE). Pikiran, pada awal mulanya seperti sehelai kertas putih, dan realitas dunia menerpa langsung (bak tulisan atau coretan) dalam rupa data yang bersumber dari panca-indera. Bentuk dalam rupa data indera ini sifatnya "the given" (kondisi yang sudah harus diasumsikan), berfungsi seperti batu bata bangunan (pengetahuan). Dengan demikian, data indera adalah (juga) bak "atom" bagi para penganut empiris atomisme.

Sebaliknya, para penganut rasionalis, yang terinspirasi oleh Plato, meng-klaim bahwa pengetahuan (dunia) itu bekerja melalui mediasi (MEDIATE); mediasinya berupa gagasan atau struktur bawaan (innate) sejak lahir (gagasan atau kategori bawaan sejak lahir). Melalui komponen bawaan ini-lah kita mendeduksi (menyimpulkan) adanya struktur universal dari realitas; struktur yang akan berhadapan (contradict) dengan beragam tampilan kesan yang bersumber dari (rangsangan) inderawi, dan struktur ini menunjukkan diri sebagai hal yang mendeduksi ragam tampilan kesan tersebut menjadi kebenaran universal dan "ajeg" (unchanging); dalam kaitan dengan kasus seperti ini,  rumusan matematika-lah yang terpilih menjadi bentuk artikulator terbaik.

Sejak abad ke tujuh belas,  para pemikir dari Inggris dan Amerika cenderung (lebih banyak) terpengaruh oleh para filsuf empiris, dan pemikir dari Eropa daratan cenderung (lebih banyak) terpengaruh oleh para filsuf rasionalis.

Sedangkan dalam tradisi strukturalime  organismik  radikal,  tidak dikenal apa yang disebut "THINGS" , alih-alih "RELATIONSHIP". Sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam tulisan terdahulu (yang berjudul "Bahasa, Sejarah (dan Pancasila)" ), para penganut strukturalisme dan poststrukturalisme selalu berpegang-teguh pada pendirian bahwa OBYEK  itu selalu  dalam status  antara "ada dan tiada" (presence and absence); artinya, obyek tidak pernah berada secara "utuh" (An object is never fully  "There" ;  it is there, to the extent that it appears before  us, but it is  Not there in so far as it's being is determined by  it's  relation).

Sudut pandang atau filosofi atomistik memandang realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian "diskrit" (kesatuan terpisah, berdiri sendiri, atau non-kontinyu) yang mana bagian tersebut tidak mungkin terbagi/tereduksi lagi ("irreducible"); dari sudut pandang ini, bagian  atau "atom" lebih nyata (menonjol) daripada keseluruhannya. Implikasi dari penonjolan bagian (atom) yang bersifat diskrit (mandiri) ini adalah kecenderungan ke arah visi organisasi; semua bagian-bagian  "riil"  ini, atau atom-atom, kemudian menjalin hubungan  satu sama lain melalui cara dan sarana organisasi.

Sedangkan sudut pandang atau filosofi organismik memandang realitas  sebagai totalitas, seperti realitas  pada organisme; dalam organisma, -keseluruhan-lah yang  nyata-, bagian hanya mungkin menjadi nyata (riil), bila bagian tersebut terkait satu sama lain (antar bagian) dan terkait dengan keseluruhannya. Implikasi dari titik tolak  pemikiran organismik adalah kecenderungan ke arah "aggregation" (aggregate -- seperti pada pengerahan massif/massal, istilah jawanya "anut grubyug" ).  Paradigma (berpikir) organismik ini kemudian tumbuh dalam tradisi strukturalisma yang berfondasi pada peranan "relasi".

Diantara dua sudut-pandang atau filosofi pemikiran di atas, yang atomistik dan organismik,  terdapat semacam gaya campuran yang dianut oleh dua tokoh besar, yakni Karl Marx dan Sigmund Freud. Kedua tokoh ini bisa disebut sebagai pemikir pra-strukturalism, karena produk pemikirannya banyak terpengaruh oleh unsur strukturalisme serentak juga (masih) menonjolkan peran historis dalam ajarannya. Kelak, oleh Althusser (untuk ajaran Karl Marx) dan Lacan (untuk ajaran Sigmund Freud), Marxisme dan Psikoanalisa diinterpretasi berdasarkan strukturalisme.

Menurut seorang pakar sejarah kontemporer Indonesia, yakni bapak Kuntowijoyo (sejarawan dan budayawan terkenal dari UGM), genre sejarah kontemporer di Indonesia, baru mulai terbentuk pada tahun 1945.

Ciri dari suatu genre sejarah kontemporer adalah kompleksitas dari peristiwa dan interpretasinya. Hal itu terjadi bukan saja karena semua dokumen, arsip, dan sumber primer lainnya belum bisa dibuka dan dipelajari oleh umum -- dengan demikian belum bisa dilakukan rekonstruksi sejarah secara utuh -- tetapi juga karena beberapa tokoh pelaku sejarahnya masih hidup. Hal yang terakhir ini acapkali mengundang perdebatan sejarah yang berkepanjangan sebab ada beberapa memori kolektif atau pribadi -- karena pertimbangan politik dan kekuasaan yang bersifat kekinian -- sering ditonjolkan untuk hal-hal yang menyenangkan di satu sisi, dan sengaja diheningkan untuk hal-hal yang kurang menyenangkan di sisi lain. Permasalahan lebih lanjut, terkait sejarah kontemporer Indonesia, dapat anda baca dalam artikel di bawah ini:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline