Melewati jalan Magelang Jogja, tepatntya di daerah Sleman di pusat perkantoran kabupaten Sleman saya teringat 15 tahun yang lalu pada saat saya mulai merintis menjadi pemain sepakbola yaitu pada saat menjadi skuad tim junior PSS Sleman untuk menghadapi kejuaraan piala Suratin yang setiap tahun diadakan oleh PSSI, event yang selalu diadakan untuk memperingati jasa pendiri PSSI yaitu Bapak Soeratin Sosrosoegondo.
Selama tiga bulan saya mengikuti seleksi di Stadion Tridadi markas Tim elang Jawa panggilan akrab tim PSS SLEMAN dan akhirnya saya menjadi bagian tim ini, setiap siang sepulang sekolah pukul 14.00 wib saya harus berangkat dari kota klaten tempat tinggal saya menuju Kabupaten Sleman, menerobos ramainya jalanan Jogja Solo menuju Kabupaten Sleman bagi seorang anak masih remaja yang belum memiliki surat ijin mengemudi pada waktu itu adalah sebuah keputusan yang nekad atau mungkin orang lain menyebut “Mburoq” (melakukan tindakan tanpa mikir).
Pernah ada pemeriksaan kelengkapan di jalan ringroad Jogja saya terpaksa berhenti menunggu sampai pemeriksaanya selesai ‘biar tidak ketangkap polisi menjadi kenangan yang mengelikan karena harus nunggu sampai harus akting menjadi orang mau beli barang di depan ruko alat bangunan di sekitaran Kampus UPN’.
Rutinitas latihan sepakbola di Sleman dan pulang sampai rumah di klaten jam 19.30 wib saya rutin lewatin itu kira-kira enam bulanan, Proses latihan sepakbola yang saya lalui penuh dengan kedisiplinan dan komitmen, latihan dimulai jam 15.30 saya tidak boleh terlambat, saya dari sekolah terkadang tidak langsung pulang ke rumah melainkan sekalian membawa peralatan bermain sepakbola dari sekolah.
Pembentukan fisik, teknik, mental saya dapatkan didalam latihan dan seorang pelatih yang selalu saya ingat didalam pikiran saya adalah Almarhum Bang Maman Durachman, seorang legenda tim sepakbola DIY yang merupakan mantan pemain Perkesa Mataram dan pelatih PSIM Jogjakarta yang dikemudian hari saya juga bergabung dengan tim itu untuk karir profesional saya.
Sosok humble dan santai jadi teringat dalam pikiran saya pesan yang bagi saya menjadi bagian terpenting yaitu “ menjadi seorang pemain sepakbola harus mendahulukan sepatu sepakbola nya dulu untuk dibersihkan setelah selesai dipakai dari pada badan pemakainya” bagi saya ternyata refleksi yang sangat dalam dan jauh sampai masuk ke dalam seluruh ranah kehidupan, bahwa sesuatu modal/senjata(kompetensi)yang dipakai untuk bisa maju dan berhasil harus selalu dirawat dan di asah sehingga akan menjadi awet dan bahkan akan menjadi berkembang menjadi baik.
Sepakbola adalah kejujuran
‘Bagi saya sepakbola adalah jujur’. Kita para pemain di atas lapangan diuji untuk menampilkan semua kemampuan dimiliki setiap tim pada sebuah pertandingan selama 45 menit x 2 adalah ujian bagi kami sebagai pemain sepakbola dengan sebuah hasil kemenangan atau kekalahan adalah sebuah konsekuensi yang harus siap untuk diterima.
Bagaimanapun sakitnya hasil jika tim kita mengalami kekalahan ya sebagai pemain n kesatria lapangan hijau harus siap dan menerimanya, kalau tim kalah maka dengan kejujuran mengakui kondisi itu sehingga dengan itu akan bisa melakukan evaluasi dengan jernih sehingga akan memperbaiki kelemahan tim untuk mengahadapi pertandingan ke depan.
Ini “berbeda dengan kondisi beberapa bulan ini pada saaat PON berlangsung di Jawa barat, banyak kontingen yang melakukan protes dan bahkan ada beberapa cabang olahraga terjadi perkelahian massal gara-gara melihat adanya tuduhan ketidak jujuran dalam pertandingan”.
Pengalaman dan ujian yang saya alami dan saya merasa bersyukur dapat melewati itu di usia saya yang baru mencapai 17 tahun, saya harus diuji dengan keadaan dimana kejujuran itu harus ditegakkan dan saya harus mengambil sebuah keputusan meskipun saya harus mengalami kesedihan. Masih berkaitan dengan tim junior saya di PSS, waktu itu sebelum saya bergabung di Tim junior PSS Sleman saya mengikuti sebuah kejuaraan Piala Suratin mewakili daerah asal saya yaitu tim PSIK Klaten dalam ajang Piala Suratin 1 tahun sebelum saya bergabung di Tim Junior PSS Sleman.