Pelantikan para penari tradisional telah usai, dan pertunjukan seni di berbagai daerah mulai digelar kembali. Ratusan penari dari berbagai suku dan budaya berusaha menghidupkan kembali kekayaan warisan nenek moyang.
Namun, dalam sekejap, keindahan tari yang selama ini menjadi identitas budaya mulai memudar. Sementara penonton beralih kepada hiburan modern, banyak penari yang terpaksa meninggalkan panggung demi mencari penghidupan yang lebih pasti. Di tengah usaha pelestarian yang beragam, kondisi memprihatinkan ini menjadi semakin nyata, saat ruang pertunjukan berkurang dan dukungan terhadap seni tradisional semakin tipis.
Tari tradisional di Indonesia, yang kaya akan nilai-nilai budaya dan sejarah, kini mulai menghilang seiring dengan perkembangan zaman dan modernisasi. Banyak masyarakat yang lebih memilih hiburan modern, sehingga kehadiran tari tradisional kian terpinggirkan.
Fenomena ini bisa dibandingkan dengan wakil rakyat yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat, namun sering kali terjebak dalam gaya hidup yang jauh dari rakyatnya. Mereka hidup bergelimang harta sementara masyarakat terpuruk dalam berbagai masalah. Seperti tari tradisional yang kehilangan tempatnya, wakil rakyat pun kehilangan empati terhadap rakyat yang mereka wakili.
Di negara lain, seperti Swedia, kebudayaan lokal dipertahankan dengan baik. Para anggota DPR di sana hidup bersahaja dan dekat dengan rakyat, menunjukkan betapa pentingnya hubungan antara budaya dan identitas nasional. Hal ini mengingatkan kita bahwa penghargaan terhadap warisan budaya adalah bagian dari tanggung jawab sosial.
Oleh karena itu, perhatian yang lebih besar terhadap pelestarian seni tradisional harus menjadi tanggung jawab bersama. Dengan menjaga tari tradisional, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dan kebanggaan akan identitas bangsa yang seharusnya terus hidup dan berkembang.
Pelestarian tari tradisional seharusnya menjadi bagian penting dalam pendidikan budaya kita. Seperti halnya pendidikan yang membentuk karakter seorang pemimpin, tari tradisional pun menyimpan nilai-nilai moral dan identitas yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya. Tokoh-tokoh budaya seperti Ibu Soed dan Ki Hajar Dewantara mengajarkan pentingnya menjaga warisan budaya sebagai pilar dalam mendidik generasi muda. Dengan menampilkan tari tradisional di sekolah-sekolah, kita tidak hanya memperkenalkan seni, tetapi juga menanamkan rasa bangga akan budaya lokal dan menciptakan identitas yang kuat.
Kenyataannya, sikap sebagian masyarakat yang menganggap tari tradisional sebagai kuno dan tidak relevan sangat mencederai nilai-nilai budaya kita. Ketika pertunjukan tari tradisional semakin jarang dipentaskan, kita kehilangan jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar budaya mereka. Hal ini semakin memperlebar jurang antara budaya lokal dan budaya global yang sering kali lebih disukai. Oleh karena itu, perlunya kesadaran untuk menghidupkan kembali tari tradisional agar tidak hanya menjadi kenangan belaka.
Kisah hilangnya tari tradisional di negeri ini ibarat sebuah taman yang dulunya indah, kini menjadi liar dan terabaikan. Pohon-pohon yang seharusnya tumbuh subur, kini mengering karena kurangnya perhatian dan pemeliharaan. Seperti halnya pendidikan yang sering terjebak dalam rutinitas tanpa makna, tari tradisional pun membutuhkan ruang dan dukungan untuk berkembang. Ketiadaan apresiasi dan ruang bagi seni tradisional mempertegas betapa rapuhnya warisan budaya kita di tengah gempuran budaya modern.
Di tengah permasalahan pelestarian seni budaya, upaya untuk mengembalikan pamor tari tradisional seharusnya menjadi fokus bersama. Ruang-ruang seni dan budaya harus dipenuhi dengan pertunjukan yang menggugah rasa cinta terhadap warisan budaya. Sekolah dan komunitas seni perlu berkolaborasi untuk menciptakan pertunjukan yang menarik dan mengedukasi. Dengan demikian, tari tradisional tidak hanya diingat sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga hidup dan bernapas dalam kehidupan sehar
i-hari masyarakat.