Sombong sekali saya kala itu. Sok merasa mendapat anugerah bernama talenta menulis dan menikmati seni jejeran kata-kata. Lupa bahwa talenta pun perlu diasah dengan yang namanya belajar dan belajar; membaca dan membaca; menulis dan menulis. Hal itu hendaknya berlaku terus-menerus tanpa henti, hingga akhirnya membaca dan menulis, yang adalah sekeping mata uang, boleh kita sebut sebagai panggilan.
Berkat kesombongan tadi, saya jadi miskin prestasi. Merasa cukup untuk tak melakukan apa pun selain membiarkan diri mengikuti waktu yang ternyata membawa banyak perubahan dan membawa banyak orang (di antaranya Kompasianer) semakin bisa kian berguna bagi banyak orang. Itulah impian terbesar yang masih mengganggu tidur saya. Sombong berbuah jumawa. Turunannya ialah congkak. Kakaknya mungkin bernama angkuh. Kembarannya di Jawa disebuk 'kemaki'. Dan pada galibnya, yang demikian sejatinya adalah kosong, nirisi.
Sempat menulis dua buah buku kecil beberapa tahun lalu dan sempat 'menjual' satu dua artikel di koran dan majalah, rasa-rasanya, saya sudah menjadi bintang di negeri sendiri. Merasa bisa ngoceh dan bisa menulis, serasa sudah cukup dan enggan untuk terus belajar. Saya sadar, penyesalan selalu menyusul belakangan. Jika kemudian Kompasiana melahirkan ribuan penulis brilian dari berbagai disiplin ilmu dan dengan gratis memajang karya dan besutan orang-orang top dengan otak encer di jagad ini, saya malu. Malu.
Malu lantaran pada saat yang sama saya malah sering absen, ogah untuk menulis, dan atau merasa sudah jauh tertinggal. Ohh, betapa malang nasib saya. Merasa diberi sangu oleh Gusti untuk terus menulis tetapi abai untuk mengembangkan talenta yang mahal harganya itu. Merasa sok mampu tetapi senyatanya masih layak untuk diragukan.
Kini, setelah tujuh tahun Kompasiana 'mengudara', saya jadi merasa kian bodoh di hadapan Kompasianer di belahan negeri ini (statistiknya bisa dilihat dari berapa jumlah postingan Anda-Anda semua dan berapa postingan saya). Tetapi di sebalik semua yang saya rasakan, saya punya keyakinan untuk, setidaknya, tetap setia pada panggilan. Ya, panggilan untuk terus setia mencintai pikiran, hati, dan jiwa ini. Hanya dengan membaca dan menulislah cinta itu bisa dibuktikan. Dirgayahu Kompasiana, jayalah selalu dan tetaplah jadi tempat untuk berguru bagi lebih banyak lagi umat di belahan dunia ini...
Jogjakarta, siang kemarau bergulir ke barat; 29 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H