Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Berasuransi

Diperbarui: 3 November 2015   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tak bisa dipungkiri, karena berbagai faktor sebagian masyarakat kita masih enggan berasuransi. Di antara beberapa faktor yang menjadi penyebab, tampaknya keraguan dan ketakukan masyarakat layak untuk mendapat perhatian serius pelaku industri asuransi dan semua pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Diperlukan edukasi secara paripurna agar penduduk Indonsia semakin sadar berasuransi.

Sejumlah sumber menyebutkan, hingga akhir tahun 2014 baru 12 persen penduduk Indonesia yang sudah merasakan manfaat asuransi. Sementara dari total penduduk baru 18 persen yang sudah melek asuransi (Tribunnews.com). Bandingkan dengan negara tetangga Singapura yang menempatkan asuransi sebagai kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi (lebih dari 200% polis dari total penduduk). Data di atas menunjukkan betapa kesadaran berasuransi di Indonesia masih sangat rendah. Kenyataan di lapangan memang belum menggembirakan. Asuransi, oleh sebagian kalangan, dianggap sebagai sesuatu yang terkesan negatif, tidak berguna, dan susah untuk melakukan proses klaim. Tidak jarang ditemui masyarakat kita yang tampak alergi dengan asuransi. Sudah tidak terbilang agen asuransi profesional ditolak mentah-mentah untuk sekedar bertemu calon nasabah. Ada banyak cerita bagaimana agen-agen asuransi yang harus kehilangan relasi dan jalinan pertemanan hanya gara-gara menawarkan asuransi. Di benak mereka yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya asuransi, seperti sudah terbayang bakal menemui kesulitan di masa mendatang ketika melakukan klaim atau akan menarik dana yang diinvestasikan. Kekhawatiran mengenai investasi yang mereka tanamkan ini juga terkesan berlebihan dan tidak masuk akal.

Cerita mengenai proses klaim yang mungkin pernah mereka dengar (meski mereka tidak tahu persis seperti apa ceritanya), seperti virus yang mudah menyebar di kalangan masyarakat dan memberi andil bagi lambatnya pertumbuhan asuransi jiwa di Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan munculnya berita-berita (surat pembaca) di media. Mereka belum sadar bahwa yang sesekali muncul di media hanyalah sepersekian persen dari keseluruhan pemegang polis asuransi jiwa di Indonesia. Dan dari mereka yang mungkin mengalami hambatan dalam proses klaim itu pun boleh jadi disebabkan oleh mereka sendiri, bukan oleh perusahaan asuransi.

Dalam teori motivasi Abraham Maslow (1943-1970) yang digambarkan dengan piramida kebutuhan dengan lima kebutuhan dasar manusia, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia punya motivasi untuk mencapai semua kebutuhan tersebut. Berturut-turut dari yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologi, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih dan cinta dan rasa memiliki, kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan diri, dan kebutuhan akan pentingnya aktualisasi diri. Pendek kata, jika semua kebutuhan tadi terpenuhi maka sempurna sudah manusia tersebut.

Akan tetapi, masyarakat kita yang hidup di hari ini tidak cukup hanya memenuhi kebutuhan hidup seperti yang dijelaskan Maslow. Masyarakat kita yang hidup di jaman ini harus memiliki kebutuhan yang paling utama yakni kebutuhan akan proteksi (perlindungan; asuransi) dan kebutuhan akan tabungan (uang; simpanan di bank atau instrumen lain) yang bisa digunakan untuk menunjang kehidupannya dalam rentang waktu 3-6 bulan ke depan. Dengan kata lain, kebutuhan akan proteksi dan tabungan ini merupakan bingkai dari semua kebutuhan yang digambarkan Maslow. Sehingga sebenarnya tidak alasan bagi siapa pun hari ini untuk tidak berasuransi. Secukup apa pun hidup seseorang, ia akan selalu lekat dengan risiko kehidupan yang bisa saja terjadi kapan pun. Seberapa banyak pun tabungan seseorang, bisa saja ludes demi penyembuhan suatu penyakit yang mungkin saja diderita. Atau, seterkenal apa pun seseorang, ia bisa saja bangkrut karena tidak lagi bisa bekerja karena cacat tetap total akibat kecelakaan atau karena penyakit. Masih ada banyak cerita bagaimana seseorang harus meninggalkan utang ketika dipanggil Tuhan. Itu semua terjadi karena semasa hidupnya orang tersebut tidak menyisihkan uangnya untuk berasuransi.

Peran BPJS

Sejatinya, masyarakat kita sudah begitu dekat dengan proteksi dan asuransi. Pemerintah, seperti yang diamanatkan Undang-Undang, sebenarnya sudah berusaha melindungi setiap warga negaranya. Masalahnya adalah, masyarakat kita tidak peduli atau lebih tepatnya tidak sadar betapa mereka sebenarnya sudah mendapat perlindungan. Di lapangan banyak ditemui banyak warga masyarakat yang tidak sadar bahwa ketika mereka membayar pajak kepemilikan kendaraan bermotor, bersamaan dengan itu mereka juga membayar premi asuransi. Tidak sedikit juga warga yang tidak sadar mereka sudah mendapat perlindungan asuransi di tempat-tempat wisata atau di dalam moda transportasi ketika bepergian. Mereka tidak sadar mereka sudah membayar premi ketika membeli tiket perjalanan atau tiket masuk di tempat-tempat wisata.

Baru-baru ini pemerintah menghadirkan BPJS untuk menjawab kebutuhan perlindungan warga negara. Sekilas, kehadiran BPJS seperti pedang bermata dua bagi industri asuransi jiwa. Tetapi dalam perjalanan waktu kehadiran BPJS justru sangat menguntungkan industri asuransi yang selama ini terkesan sulit untuk melakukan penetrasi di kalangan masyarat tertentu akibat minimnya literasi dan pemahaman asuransi di masyarakat. Saat ini, warga masyarakat di pelosok-pelosok sudah tidak asing lagi dengan asuransi. Berawal dari sering mendengar, kita boleh yakin, lama-kelamaan masyarakat dari semua lapisan akan merasa perlu ingin tahu dan pada gilirannya mereka akan merasa membutuhkan kehadirannya. BPJS tidak saja hadir sebagai pemberi perlindungan bagi sebagian warga, tetapi secara tidak langsung juga memberi pemahaman dan pengetahuan mengenai asuransi bagi masyarakat.

Tantangan bagi industri

Rendahnya tingkat kepemilikan polis asuransi jiwa di Indonesia hendaknya menjadi tantangan bagi pelaku industri asuransi. Meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia dan banyaknya kaum muda yang berpotensi memiliki pendapatan yang cukup hendaknya menjadi peluang baru bagi asuransi jiwa di waktu-waktu yang akan datang. Semua peluang di atas harus dicermati dan digarap secara sungguh-sungguh. Di lain sisi semua perusahan asuransi harus memperkuat diri dengan mematuhi semua ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator perpanjangan tangan pemerintah. Kepercayaan adalah mantra sakti dalam sektor keuangan. Maka hendaknya semua pihak yang berkepentingan bahu-membahu membangun kepercayaan tersebut. Publik saat ini sudah cukup cerdas untuk memilih di mana ia akan berinvestasi dan mendapatkan proteksi. Lembaga keuangan non bank (asuransi) ini ke depan harus semakin mempertajam visi dan misinya karena bisnis asuransi adalah bisnis jangka panjang yang memerlukan kesungguhan dalam pengelolaannya. Kehadiran OJK seyogianya bisa memperkuat industri asuransi sehingga peran pemerintah semakin nyata dalam mendorong pertumbuhan indsutri di tanah air. Perusahaan asuransi juga perlu berpikir keras untuk menciptakan produk-produk yang pro pasar, nyata-nyata dibutuhkan masyarakat, dengan premi terjangkau, dan dilengkapi kemudahan akses mengingat hampir semua kalangan saat ini sudah akrab dengan smartphone. Perlu juga dipikirkan strategi penjualan dengan memanfaatkan peluang-peluang yang kian terbuka. Jangan lupa, ke depan Indonesia bakal menikmati bonus demografi yang juga bisa dimanfaatkan oleh industri asuransi.

Agen-agen di lapangan hendaknya perlu mendapat bekal yang cukup untuk mengedukasi masyarakat yang perlahan sudah mulai terbuka wawasan dan kesadarannya berasuransi. Tenaga penjual tidak cukup hanya dibekali dengan pengetahuan seputar asuransi dan investasi, tetapi perlu diberikan bekal mengenai budaya setempat, kearifan lokal, dan sosiologi masyarakat sehingga mereka akan semakin mudah masuk di kalangan masyarakat di berbagai lapisan. Melengkapi semua keahlian di atas, tenaga pemasar hendaknya selalu mengedepankan integritas dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Kepercayaan nasabah adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Nasabah tidak saja perlu didampingi tenaga pemasar yang profesional dan bisa memahami kebutuhan dan daya beli mereka, tetapi nasabah juga perlu pendampingan orang yang dia percaya sepenuhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline