Lihat ke Halaman Asli

Pengobatan Tradisonal, Solusi korban Merapi

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1290035616892067443

Pengobatan tradisional berupa jamu-jamuan, akupuntur dan akupresur menjadi pilihan pengobatan alternative di beberapa tempat pengungsian. Menurut Patrick Vanhoebrouk seorang Research Assistant dari Palang Merah Internasional yang ikut menjadi relawan - bergabung dengan lembaga Seni Pengobatan Timur sesuai dengan skill yang dimilikinya. Sudah saatnya pengobatan tradisional menjadi pilihan yang baik bagi masyarakat yang terkena bencana. Hal ini dipelajari setelah gempa Yogya 2006 yang lalu. Setelah itu, masyarakat melalui beberapa program seperti KWK (Kerja Wira Usaha Kota) dan KWD (Kerja Wira Usaha Desa) dari Dinas Pendidikan, diberikan pelatihan selama dua bulan untuk menjadi kader kesehatan dan sentra pengobatan tradisional di daerah rawan bencana. Para Kader itulah yang saat ini bergerak membantu di beberapa titik pengungsian sebagai gerakan peduli Merapi. Patrick, seorang antropolog dan pencinta budaya Jawa sangat tertarik dengan kuatnya konsep gotong royong di Jawa. Menurut pengalamannya melakukan riset sosial di Jawa mengenai kemampuan dan potensi masyarakat dalam respon terhadap bencana dan pengurangan risiko bencana, banyak hal yang luput dan tidak terukur tentang bagaimana keberhasilan dan kemampuan masyarakat akar rumput bangkit setelah terkena bencana di wilayahnya. Banyak media yang tidak menulis, padahal itu dapat menjadi katalisator agar respond dan recovery menjadi lebih cepat. Pemulihan pasca Gempa yogya 2006 menjadi contoh bahwa kekuatan budaya dan kemampuan masyarakat benar-benar ada dan terbukti. Sejak tahun 1996 melakukan penelitian di beberapa wilayah Indonesia, tentu banyak hal yang di dapat. Tetapi kendala yang dirasakan justru saat memberikan hasil penelitian kepada institusi yang mendanai. Bagaimana mengintegrasikan antara hasil rekomendasi yang diperoleh dalam penelitian bersama dengan informasi kunci lainnya dengan program yang ada di funding. Ketika bicara program, mereka mengatakan harus ada partisipasi, kemandirian dan keberlanjutan dari hal tersebut, tetapi kenyataan di lapangan sangat berbeda ; partisipasi hanya sebatas pengetahuan, implementasi hanya sebatas tenaga. Sementara itu, mulai dari assessment, implementasi dan monitoring evaluasi masyarakat tidak dilibatkan. “ Mereka cuma ada satu solusi untuk semua bencana,” tegas Patrick Menurut dia, layaknya assessment yang ada jangan bersifat kontekstual,pendekatan ke masyarakat bukan institusional atau prosuderal bahkan birokratis. Tapi ilmu sosial antropologi. “Itulah yang menjadikan riset saya menjadi apresiatif dan orang sangat terbuka bicara soal kemampuannya, karena mereka sendirilah yang tau apa yang paling dibutuhkannya,” tutur Patrick usai rapat koordinasi cluster kesehatan di Forum PRB Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline