Lihat ke Halaman Asli

Reuni, Membuka Borok Menyingkap Kejujuran

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wakakak, aku siap berangkat..." "Pasti. Jangan lupa kepastian venue-nya, yah" "Suami dan anak-anak boleh ikut? Iurannya dobel, ya? "Siap, saya berangkat bersama anak istri. Jangan lupa, kepala sekolah diundang" Penggalan kalimat melalui facebook di atas terasa melegakan. Betapa tidak, panitia sempat ketar-ketir dengan kedatangan teman-teman SMA Dominikus Wonosari, Gunung Kidul jebolan tahun 1997 yang pada Lebaran hari ke-4 lalu mengadakan reuni di sebuah restoran di kota gaplek tersebut. Kerja keras panitia tak sia-sia, dari sekitar 200 alumni, separuh diantaranya hadir memenuhi undangan yang disebar panitia melalui e-mail, SMS, BBM, jejaring sosial, hingga surat yang langsung diantar ke rumah-rumah mereka yang masih terjangkau. Begitulah, acara kumpul-kumpul dari pagi hingga sore itu terasa hangat menuju panas. Suasananya begitu heboh, seru, dan mengharukan bagi semua yang datang. Panitia sampai kewalahan mengatur peserta untuk sekedar tenang jika ada acara yang sedikit agak penting. Kehangatan ini kian lengkap ketika beberapa biduan tampil menghibur. Waktu terasa begitu cepat berlalu, tak terasa matahari sudah bergeser, bersaip untuk menyudahi tugasnya hari itu. Sejatinya, kata reuni berasal dari bahasa Latin. Re yang berarti kembali dan unio yang artinya kumpulan atau kesatuan. Kebutuhan untuk berkumpul dan bersatu kembali inilah yang akhir-akhir ini menjangkiti banyak orang. Merebaknya jejaring sosial seperi facebook, twitter, dan sejenisnya menjadikan reuni banyak digelar di mana-mana. Seorang kawan pernah mengeluh gara-gara istri tercintanya tiap hari Minggu pergi reuni bersama teman-teman lamanya. Kawan ini bercerita, beberapa waktu lalu istrinya reunian bersama teman-teman SMP-nya. Beberapa pekan kemudian ia pamit lagi, kali ini reuni SMA. Eh, tak lama kemudian istrinya kembali pergi untuk sebuah acara yang kurang lebih sama, yakni reuni bersama-sama teman-teman kuliahnya. Saya hanya tersenyum kecil mendengar cerita kawan saya ini. Saya membatin, betapa gaya hidup seseorang memang mesti berubah menyesuaikan kondisi zaman. Itu semua belum seberapa. Ada banyak acara reuni yang tidak hanya berhenti sampai pada acara kumpul-kumpul dan saling melepas rindu. Masih ada banyak lagi acara yang digagas pascareuni. Bakti sosial, kunjungan ke almamater, donor darah, dan masih banyak lagi. Sepanjang acara itu bermanfaat, tidak mengganggu kepentingan yang lebih besar -keluarga misalnya- dan disertai dengan niat yang baik, tidak ada yang salah dengan semua itu. Apa yang paling menarik dari acara kumpul-kumpul ini? Terlalu banyak yang menarik untuk dibeberkan dan dibahas di sini jika kita bicara soal reuni. Penulis membuktikan, betapa kegiatan reuni mampu menambah gairah hidup. Ini memang terkesan berlebihan dan belum ada pembuktian ilmiahnya. Tetapi, dari sekian banyak teman-teman yang pernah reuni, mungkin akan mempunyai pandangan yang sama seperti saya. Seorang kawan yang kebetulan didapuk menjadi panitia rela cuti dari kantornya dan terbang Jakarta-Jogja PP hanya untuk rapat kecil sekitar dua jam ketika kami menyiapkan reuni beberapa waktu lalu. Seorang kawan lain tak kalah bersemangat. Ia rela warung satenya tutup satu hari demi menjamu kami yang akan rapat mematangkan rencana yang memang sudah kami nanti-nantikan itu. Uniknya, kami juga dijamu sate dan tongseng kambing muda yang biasa dijualnya untuk para pelanggan. Satu hal lagi yang mungkin tidak banyak orang tahu dan sadari: reuni mampu membuka borok dan menyingkap kejujuran. Betapa, saat ini kejujuran begitu mahal harganya. Di negeri kita tercinta, kejujuran nyaris punah tertelan ingar-bingar kekuasaan dan keserakahan. Bangsa ini tak lagi mampu menegakkan kejujuran sebagai pilar penting yang menyangga tatanan bangsa. Tetapi, kegiatan reuni mampu menjawab kegelisahan kita bersama berkait lunturnya kejujuran di negeri ini. Reuni bisa menjadi panggung kejujuran. Tidak ada borok yang bisa tersimpan dengan rapi dalam acara reuni. Semua pernik kehidupan terpampang dengan anggunnya. Kami bisa saling melihat, belajar, dan menilai. Si A sudah sukses, si B terseok-seok, si C sudah menjanda, dan beberapa tampak tak beranjak maju, kalau tidak bisa kami katakan mundur. Belum lama, sebut saja Juned, menulis di akun facebook-nya. 13 tahun silam ia memendam cinta pada Sari yang kini sudah menjadi seorang ibu dari tiga anak. Kami memberi komentar sembari menahan tawa, mencoba membayangkan wajah Juned yang begitu polos kala itu. Ketika Juned muncul pada reuni waktu lalu, ia membuat pangling semua yang hadir. Perutnya buncit, wajahnya klimis, dan seorang perempuan cantik digandengnya. Ia kini juragan rumah makan seefood di Jakarta. Juned hanya mampu cengengas-cengenges ketika MC memberinya waktu untuk memberikan sambutan. Semua yang datang yakin dan tak perlu bertanya lagi, Juned kini sudah sukses di rantau. Ia mewakili seorang wirausahawan muda yang siap untuk memberi pelatihan entrepreneurship di almamater kami jika ada kesempatan....wow, hebat bukan? Dan ketika MC mencoba mengorek perihal cintanya masa lalu, wajahnya merah padam. Sesekali diliriknya Sari yang tersipu-sipu, sesekali diliriknya istrinya yang hanya terbengong-bengong. Lain Juned lain Sarno. Ia kini guru agama. Tak ada yang menyangka sosok cuwawakan yang kerap bicara jorok itu kini jadi panutan anak didiknya. Hebatnya lagi, ia mengampu pendidikan agama, sebuah jalur penegakan moral yang mungkin hanya bisa dilakukan beberapa gelintir orang. Ketika memberi testimoni ia degan jujur berujar, ia anak petani sederhana dari ndeso. Tetapi berkat keyakinan, keteguhan, dan upaya yang sungguh-sungguh, ia bisa merampungkan kuliahnya dengan hasil baik. Tak lama kemudian sebuah instansi pemerintah memanggilnya. Ketika ia diminta untuk bicara jorok di depan kami untuk mengenang kisah lampau, ia hanya mampu tertawa ngakak. Yang terakhir ini, sebut saja Nuri. Ia tak lulus waktu itu. Seorang laki-laki yang usianya jauh di atasnya mempersuntingnya ketika ia hampir naik kelas dua. Kabar burung yang beredar, ia sudah hamil ketika ia mengundurkan diri dari sekolah. Ada guratan tekanan di wajahnya. Kalau boleh gegabah menebak, mungkin Nuri harus bekerja keras untuk membantu perekonomian keluarga. Ia datang dengan menggendong anak kecil. Wajahnya kusut tanpa polesan bedak. Tetapi kami dapat menangkap aura kebahagiaan dari sorot matanya siang itu. Kedatangannya sungguh membuat kami tenggelam dalam suasana haru. Kami bercerita, makan bersama, bernyanyi dan berjoget bersama, berdiskusi bersama, dan mencoba mengenang masa lalu. Selain, kami juga mencoba memikirkan sekolah kami yang pernah kami huni belasan tahun lalu. Begitulah, kami datang dengan kepala tegak, senyum tulus yang mengembang, dengan semangat untuk jujur terhadap diri sendiri dan orang lain. Sarno datang dengan label guru, Heru datang dengan sedan kinclongnya, Juned datang sebagai pengusaha, Dwi datang dengan statusnya sebagai karyawan yang tampak dewasa, Sapto datang dengan gaya khasnya yang membuat gemas para ibu. Ia punya bengkel di ibu kota. Maka semua maklum jika tubuhnya yang memang sudah tampak legam menjadi kian matang, nyaris gosong. Hetty datang dengan penuh percaya diri karena ia menjadi penyanyi yang laris mendapat tanggapan di mana-mana. Hari itu ia rela menampik semua tanggapan manggung demi sebuah kebersamaan yang terasa langka bagi kami. Sari datang dengan senyum yang tetap seperti dulu, manis minta ampun. Kariernya mungkin cemerlang di tempatnya bekerja. Ini tergambar dari gaya dan dandanannya yang kami saksikan siang itu. Lilis tetap tersenyum cemerlang meski sepanjang acara harus mengurusi anaknya yang melulu rewel. Ia masih masuk ketegori ibu muda yang tampak kerepotan menenangkan anaknya. Kalau ia tambah kurus, semoga bukan karena ada apa-apa yang menghimpitnya. Semua datang dengan gairah dan semangat baru. Dengan senyum yang terasa membebaskan. Tidak ada yang dibuat-buat. Apa adanya. Saya juga, tak perlu repot-repot menyewa mobil karena memang tidak punya, atau mencari istri terlebih dahulu karena memang belum dikaruniai...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline