Lihat ke Halaman Asli

Bau Wangi Kotoran Sapi, Romantisme ‘Ndeso’ yang Selalu Memanggil Pulang

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin tidak pernah terbayangkan oleh sebagian orang, tanah merah yang gersang nan tandus itu bisa menghidupi ribuan jiwa penduduk. Oktober-November tahun ini adalah puncak penantian. Hujan seolah tamu istimewa yang dinanti dan bakal membawa kabar suka cita. Betapa tidak, dalam satu tahun warga desa hanya mampu menggarap tanahnya sekali, ketika musim hujan tiba. Maka ketika hujan mengguyur bumi, ribuan pasang mata berbinar, senyum merekah, dan harapan hidup kembali terhampar di depan mata. Bau harum tanah basah seakan memanggil-manggil siapa pun yang pernah hidup dan tumbuh di desa untuk kembali pulang, bercinta dengan alam desa yang kembali tampak ranum, penuh gairah, dan siap memberi harapan hidup bagi siapa pun.

Romantisme ‘ndeso’ itu kembali terasa, ketika Kamis, pertengahan Oktober 2011 malam Jogja diguyur hujan. Saya yang sudah beberapa tahun lalu memilih merantau, meninggalkan kampung halaman untuk bekerja dan mencoba merubah nasib, terhanyut mengikuti irama hujan yang tidak seberapa deras itu. Iramanya begitu merdu hingga mampu menuntun jemari saya memencet-mencet ponsel. Dari seberang simbok mengabarkan, belum ada hujan di kampung. Hanya suasana gerah yang terasa. Saya terdiam, mencoba melukiskan suasana desa tempat saya lahir dan di besarkan itu di langit-langit kamar.

Itulah sekilas kampung halaman saya, pinggiran kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak ada yang istimewa di sana meski masih berada di wilayah keistimewaan Yogyakarta. Pemandangan yang serba gersang, pepohonan yang kering dan meranggas, dan tanah merah yang memproduksi debu di udara menjadi lanskap yang mau tak mau terasa ngangeni, membuat rindu bagi sesiapa yang pernah merasakan ganasnya kemarau panjang di daerah ini.

Bau kotoran sapi yang diangkut ke ladang-ladang penduduk menjelma menjadi wewangian yang begitu khas dan membuat siapa pun yang pernah tumbuh di desa dan tak asing dengan aroma ini akan kembali berselancar ke masa lalu. Orang-orang berpeluh keringat memikul tomblok (semacam wadah yang terbuat dari bambu dan dianyam rapi), mengangkut kotoran sapi itu ke ladang masing-masing. Sesampai di ladang, kotoran itu diratakan. Tatakala angin kemarau berhembus, kotoran itu menguapkan aroma yang begitu harum...hmmmm, siapa pun yang pernah meresapi itu aroma itu, tak bakal menutup hidung karena baunya begitu dekat suasana kemarau, suasana desa yang aduhai.

Soal kotoran sapi yang kerap disebut rabuk kandang ini ada ceritanya. Kotoran itu bukan kotoran sapi yang baru saja diproduksi oleh sapi-sapi yang dipelihara petani dan hampir seluruh warga desa. Kotoran itu sudah tertumpuk di kandang-kandang warga selama hampir satu tahun. Akibat panas yang dihasilkan dari proses kimiawi kotoran ini, jadilah kotoran itu pupuk kandang yang berkualitas tinggi. Jadi, kotoran sapi yang diangkut ke ladang-ladang petani tahun ini adalah hasil dari produksi kotoran sapi sejak satu tahun lalu. Itulah mengapa, hampir seluruh warga kampung tetap memilih memelihara sapi meski secara itung-itungan bisnis tidak menguntungkan. Mereka berharap mendapat pupuk kandang dari sapi-sapi yang mereka pelihara. Bagi warga yang tidak mampu membeli, memelihara milik orang lain (nggaduh) bisa menjadi pilihan. Sistem nggaduh ini tetap berlaku hingga hari ini. Si pemilik akan berbagi keuntungan dengan si penggaduh. Yang lazim, si penggaduh akan mendapat bagian separuh dari keuntungan selama sapi itu dibesarkan. Jika yang digaduh pada awalnya indukan, maka separuh dari anakan yang dihasilkan dibagi dua. Sistem ini hanya berlandaskan rasa saling percaya. Tidak pernah ada hitam di atas putih dalam hal perjanjian ini. Tetapi, sepanjang sejarah tidak pernah ada masalah dalam perjanjian gaduh-menggaduh ini. Inilah salah satu kekhasan desa saya. Semua berjalan serba rukun, semua merasa senasib-sepenanggungan, termasuk ketika musim penghujan terlambat tiba, semua warga menanggung derita ini bersama-sama.

Bicara soal sapi, tak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi warga. Sapi-sapi ini pada musim kemarau bisa menjadi masalah serius karena langkanya tanaman hijau yang bisa dihidangkan. Pilihan yang tersisa adalah membelikan batang-batang pohon jagung yang didatangkan dari luar daerah. Satu ikat batang jagung yang masih hijau segar bisa dibeli dengan harga 10 ribu rupiah. Harga ini tidak mahal bagi mereka berpunya, tetapi bagi mereka yang tidak punya penghasilan pada musim kemarau, angka 10 ribu ini begitu mustahil. Dan kita tahu bagaimana cara sapi-sapi itu makan. Binatang-binatang itu tak pernah berpikir untuk menyisakan makanan yang disantapnya untuk esok. Maka santapan hijau seharga sepuluh ribu itu bakal dilahapnya sekali. Kita tinggal mengalikan untuk tahu persis berapa kebutuhan dana untuk tetap memberikan sapi-sapi itu makanan hijau di musim kemarau. Hanya beberapa gelintir warga yang mampu memberi asupan gizi ini pada sapi-sapinya. Warga yang lain lebih banyak pasrah, memilih tetap mencari dedaunan hijau apa saja yang masih tersisa. Beberapa warga juga memberikan dedaunan kering apa saja yang dianggap layak dikonsumsi sapi. Karena sejatinya, ketika kemarau tiba, nafas warga terhenti di tenggorokan. Dan, nafas itu akan kembali berdenyut saat musim hujan tiba. Semoga tak lama lagi hujan segera turun, membasahi desa tercinta, tanah kelahiran yang sarat kenangan, yang wangi kotoran sapinya selalu memanggil pulang. Menghijaukan lagi ladang-ladang yang sudah lama gersang dan menyambung nafas ribuan warga. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline