Rapor Merah untuk Perguruan Tinggi
Oleh: Antonius Nesi
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Kasus dugaan plagiasi yang menimpa beberapa universitas terkemuka di Tanah Air yang belakangan ini marak diberitakan berbagai media merupakan sinyal kebangkrutan nurani dalam dunia akademik. Bahkan, berbagai meme, entah bersumber dari siapa, yang laris manis terjual di dinding-dinding media sosial merupakan sarkasme visual terhadap para pemakai jubah dan toga bersimbol kitab dan pena.
Yang terakhir itu tentu merupakan suatu perkecualian untuk dikategorikan sebagai fake-news.Bahwasanya, kriminalitas intelektual seolah telah terpola dalam suatu jejaring yang terbungkus rapi dalam barisan kata-kata majas epitet: "kerja sama untuk mencerdaskan bangsa". Akan tetapi, jika pisau silet filsuf Derrida "oposisi biner" dipakai untuk membedah metafora itu, maka hasilnya ialah "bersekongkol untuk membodohkan bangsa". Itulah poin merah pertama dari topik ulasan ini yang bisa diringkas dalam satu kata, mafioso!
Adalah suatu kealpaan akal budi bahwa mencerdaskan kehidupan anak bangsa dapat ditempuh melalui persekongkolan jahat. Atas nama "kerja sama", karya tulis ilmiah seperti skripsi, tesis, bahkan disertasi dijiplak, sedikit dipoles, lalu di-aku sebagai milik. Padahal, karya-karya tulis ilmiah itu sesungguhnya merupakan bukti sah bahwa setelah diuji dan layak, seorang mahasiswa dinyatakan telah menguasai kompetensi sesuai bidangnya, dan berhak menyandang gelar kesarjanaan sesuai ketentuan hukum.
Ironisnya, nada guyon berikut bukan baru pertama kali kita dengar: "Tiap hari biasa-biasa saja di sini, tiba-tiba pergi wisuda." Jalur kerja sama? Jarak jauh? Entahlah. Namun, banyak fakta membuktikan, meminjam dua istilah Chomsky, kompetensikerapkali tidak mencerminkan performansi.Ini analoginya: apabila seseorang telah dinyatakan lulus Sarjana Teknik Sipil mestinya ia dapat menangani proyek pengerjaan jalan raya secara profesional, bukannya usai proyek, aspal di jalan segera terbongkar usai diguyur hujan.
Apabila seseorang telah menyandang predikat Sarjana Pendidikan, mestinya ia dapat menggunakan pendekatan humanistik ketika mendidik siswa, bukannya menyuruh siswa memungut sampah menggunakan lidah. Itulah poin merah kedua dari topik ulasan ini yang bisa diringkas dalam satu kata, gagap! Apakah mafioso dan gagap harus dibiarkan? Tentu saja tidak!
Memutus Mafioso dan Gagap
Sesungguhnya, mafioso plagiasi telah lama terjadi, bahkan pada setiap saat dengan skala yang berbeda-beda. Ia seolah telah membentuk rantai setan yang sulit untuk karat dan putus karena sudah terlalu lama terstruktur secara masif dan dirawat pula di dalam ruang yang steril. Efek jerah dengan pencopotan gelar kehormatan dan pemecatan jabatan dari institusi toh kejadian serupa masih saja terulang. Ibarat mati satu tumbuh seribu, pecat lima muncul lima puluh, copot satu gelar kehormatan muncul sepuluh ribu gelar kehormatan palsu yang diperoleh entah dari mana tanpa melalui suatu proses perkuliahan yang wajar.