"Media sosial itu ruang diskusi publik," katanya. "Aplikasi yang bertebaran itu public sphere yang gratis dan ditujukan untuk semua orang!" Apa benar seperti itu? Jika dikatakan begitu, seharusnya setiap orang bebas mengemukakan pendapat mereka, kan? Namun, nyatanya tidak begitu yang terjadi.
Pada masa ini, orang-orang cenderung dipukul rata, seolah harus dan selalu sama. Pendapat yang terdengar berbeda, seringkali dipresekusi bukan diajak diskusi apalagi diapresiasi. Berakhir dengan ngotot dan gontok-gontokan, saling serang karena merasa dirinya yang paling benar.
Terkadang saling lempar olokan, cacian, hingga makian. Tidak jarang orang-orang jadi takut untuk mengemukakan pendapat. Kini, banyak yang hanya mengikuti arus. Jika mayoritas mengatakan A, maka akan makin banyak pula audiens yang berkata serupa. Begitu juga jika banyak yang tidak setuju dengan B, makin banyak orang pula yang antipati.
Sayangnya, perbedaan pendapat ini tidak disikapi secara sehat yang mengakibatkan percekcokkan bahkan cyber-bullying. Bukankah ini mengindikasikan ruang diskusi yang tidak sehat? Lalu, sebenarnya apa yang harus dioptimalkan pada ruang publik yang paling banyak menjangkau setiap lapisan masyarakatnya ini?
Fenomena Satu Suara
Banyak sekali media sosial yang saat ini digunakan oleh masyarakat sebagai sarana pertukaran informasi. Bahkan tidak jarang sebagai wadah untuk bercerita hingga saling berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Media sosial yang kebanyakan dapat diakses secara cuma-cuma dianggap sebagai sebuah ruang publik yang dapat diakses oleh semua kalangan. Tidak peduli dengan latar belakang tempat tinggal, usia, pekerjaan, jenis kelamin, dan lain-lain.
Media sosial memberikan ruang bagi semua orang untuk mengunggah dan saling berkomentar, tidak lupa juga dengan pertukaran informasi yang begitu cepat terjadi. Bahkan informasi dari daerah hingga negara lain juga dapat diakses dalam jentikan jari. Kehidupan yang sebelumnya hanya dapat dibayangkan pun mungkin saja bisa dilihat melalui media sosial. Hal ini mengindikasikan begitu masifnya pengaruh media sosial di zaman ini.
Namun, fenomena lain terjadi. Media sosial yang seharusnya menjadi tempat ideal untuk saling berdiskusi dengan mengemukakan pendapat malah sering kali tidak memenuhi fungsinya. Satu media sosial dengan yang lainnya juga memiliki mayoritas suara yang berbeda.
Media sosial secara umum menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Hal ini mengakibatkan kebanyakan informasi yang diserap oleh audiens juga hanya seputar sesuatu yang serupa dan cenderung sama. Secara lebih jauh, ini dapat menyebabkan adanya anggapan bahwa pendapat mayoritas adalah sesuatu yang pasti benar. Padahal bukan begitu adanya. Pendapat mayoritas memiliki kredibilitas yang cenderung lebih tinggi karena dipercaya oleh banyak orang, tetapi bukan berarti pendapat berbeda dianggap salah total.
Naasnya, yang terjadi saat ini, banyak pendapat yang berbeda dengan suara mayoritas seolah dianggap bodoh dan tidak layak untuk diutarakan. Umpatan demi umpatan ditujukan pada individu yang menyuarakan sesuatu yang berbeda dengan suara mayoritas. Hal ini mengakibatkan mereka yang memiliki pendapat yang cenderung berbeda, takut untuk mengutarakan isi kepala dan hati mereka.
Bahkan, beberapa orang secara terang-terangan mengatakan, "Ah, aku mau bilang sesuatu tapi enggak jadi ah, takut kena rujak." Selain itu, fenomena lain yang terjadi adalah menganggap satu media sosial lebih superior dari yang lain dan memukul rata penggunanya. Padahal, setiap pendapat perlu dihargai.