Ini sedikit ekspresi dalam arti istilah saya, "ketercekaman" peduli untuk mengungkap response terhadap ungkapan pilu Don Zakiyamani's "Terima Kasih Jokowi, Goodbye" termasuk juga yang lainnya yang senada yang bertebaran di Kompasiana.
Saya mulai saja dengan standar yang sering disebut journalism report's lead, setelah mempedulikan salah satu paragraf dalam "Terima Kasih Jokowi..." yang ditulis, "Semoga kita semua ikhlas Jokowi pensiun, biarkan Jokowi mencoba hal baru. Jangan halangi Jokowi mencoba hal baru, kita dukung bersama agar PDIP dibawah Jokowi menjadi oposisi. Semoga tahun 2024 Jokowi kembali nyapres."
Nada ungkap seperti ini, menurut Simon Freud dalam tiga nukilan jiwa manusia-nya (yakni, ego, superego, dan id) merupakan representasi "ego". Dengan begitu, ada minimal tiga hal yang pantas dibincangkan sehingga bukan lagi "Terima Kasih Jokowi, Goodbye" tapi "Terima Kasih Jokowi, Welcome Home". Itu paling tidak.
Pertama, mengucapkan "Terimakasih Jokowi" karena beliau telah dengan sekuat tenaga sudah mampu menggelar fondasi "Indonesia kita kini." Ini boleh dipandang sebagai kekaguman namun yang dipaksakan dalam tulisan tersebut sebagai keblikannya yang dengan demikian penolakan "katresnanism" (divine love-vide: Herujiyanto) karena bisa jadi "belum" tersadari sudah menyentuh langsung realitas spiritual dan fisikal penulisnya. Ini sejalan dengan agadium, "yang baik untuk mereka tidak harus dipertentangkan dengan personal interest."
Kedua, menganalogikan "urik"-nya [meng-hak-i idea orang lain] peristiwa pilkada Jakarta Anies gubernor terhadap karya Ahok (sesungguhnya milik Jokowi) untuk bekerja di DKI. Ini sebetulnya mencinderai eksistensi diri, yakni, memunculkan pertanyaan berikutnya bisakah siapapun melanjutkan "Jokowi's National grand design"? Jawabannya jelas, bisa.
Tapi, siapatah yang tidak punya harga diri mau melakukanya? Mengapa bergegas mengambil alih idea bagus Jokowi? Mengapa tidak tulus rela menghargainya untuk menyelesaikannya untuk kemudian maju di pilpres berikutnya (2024)?
Secara kejiwaan, kerja bagus apapun yang bisa dilakukan Anies tidak akan tidak dikaitkan dengan karya Ahok. Mengapa mau mengulangi yang sama dengan setting nasional yang beda terhadap Jokowi?
Memiliki motivasi untuk berkuasa boleh saja. Tapi alam yang hebat ini tetap menganut sistem alami. Memaksa kehendak bila kasilpun tidak bakal tahan lama. Hanya semusim. Cerita Ken Arok telah menuturkannya.
Kalau Prab-Suno mau, dengan taktik yang menentang-alamnya kemudian terpilih, dimanakah harga dirinya? Manusia Indonesia itu bermartabat. Bolehkah pemimpin Indonesia tidak bermartabat unggul dengan njiplak ide orang lain untuk kepuasan, mendapatkan kekuasaan, menjadi Presiden Indonesia?
Masih banyak dikata, masih banyak ditanya, tapi hanya satu yang perlu dijawab: kapan lagi setelah Bung Karno, kita bangga punya Presiden yang secara alami hebat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H